:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2400909/original/057088800_1541432105-20181105-Ilustrasi_Nazi.jpg)
Sekitar dua bulan setelah Nazi menginvasi Polandia, pemimpin Gestapo di Krakow, SS-Oberstrumbannfuhrer Bruno Muller memerintahkan rektor Jagiellonian University, Profesor Tadeusz Lehr-Splawinski mengumpulkan para dosen dan profesor.
Para akademisi itu wajib datang untuk mendengarkan ceramahnya tentang rencana Jerman bagi dunia pendidikan di Polandia.
Sang rektor tak punya pilihan, undangan pun disebar. Pada hari-H 6 November 1939, 144 akademmis dari Jagiellonian University, 21 dari Technology University, dan tiga lainnya dari Economic University digiring ke ruang kuliah No.56 di Collegium Novum, University Jagiellonian.
Namun, ceramah tak kunjung dimulai. Para akademisi itu kena jebakan Nazi. Mereka disekap, kemudian ditahan di kamp konsentrasi Sachsenhausen. Operasi itu berkode Sonderaktion Krakau.
Sejumlah akademis yang diundang tak berprasangka buruk. "Profesir Smolenski mengucapkan selamat tinggal pada putranya, sama sekali tak menyangka, itu adalah pertemuan terakhir mereka," tulis Stanistaw Leszczycjki, akademisis Jagiellonian University dalam memoarnya yang dikutip dari www.pg.geo.uj.edu.pl.
Nazi berdalih, para akademisi ditahan karena memulai perkuliahan tanpa izin. "Mereka juga menunjukan sikap permusuhan terhadap ilmuh pengetahuan (versi) Jerman," demikian dikutip dari Krakow Post, Senin (5/11/2018).
Sementara itu, sejarawan Polandia, Anndrzej Chwalba mengatakan, kala itu, Nazi memandang, pendudukan akan efektif jika kekuatan-kekuatan yang 'bermusuhan' dengan Reich Ketiga disingkirkan.
"Dan di atas semuanya, kaum intelektual Polandia lah yang bisa disingkirkan atau diintimidasi,"kata dia kepada Polish Radio.
"Itu mengapa, Sonderaktion Krakau terjadi, yang diwarnai penangkapan 183 akademisi, terutama dari Jagiellonian University dan depoertasi dan mereka ke kamp kematian."
Kala itu, Krakow menjadi pusat perlawanan kedua terhadap pendudukan Jerman. Setelah Warsawa.
Insiden tersebut menuai kecaman meluas termasik dari pemimpin fasis Italia, Benito Mussolini, sebanyak 101 akademis yang berusia di atas 40 tahun dibebaskan pada Febuari tahun berikutnya.
Namun, banyak dari mereka telah meninggal dunia sebagai tahanan kamp konsentrasi. Beberapa lainnya kehilangan nyawa sesaat setelah dibebaskan.
Perlakuan Nazi pada Ilmuwan
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1670243/original/060037900_1502022144-463041299.jpg)
Sepanjang Perang Dunia II, sudah jadi rahasia umum jika Nazi Jerman merupakan salah satu kekuatan dunia yang maju di berbagai bidang sains dan teknologi.
Kemajuan itu berkat kontribusi beragam ilmuwan kawatan yang diperkerjakan Nazi. Pengembangan sains dan teknologi yang mereka lakukan ditunjukan guna memenuhi impian Adolf Hitler untuk menguasai Eropa dan dunia.
Di sisi lain, banyak ilmuwan yang melarikan diri ke luar negeri. Terutama mereka yang berdarah Yahudi.
Misalnya, matematikawan Richard Courant yangterbang ke New York. Di sana berdirilah pusat matematika terapan, Counrant Institute of Mathematical Sciences -- yang diambil dari namanya.
Kehilangan para ilmuwan itu adalah luka yang dibuat sendiri oleh Nazi. Membuat mereka kalah dalam perlombaan pengembangan senjata atom. Para pengungsi Jerman memainkan peran kunci, untuk memastikan Amerika Serikat keluar sebagai pemenang.
Selain jebakan untuk para ilmuwan Poladia, sejumlah kejadian menarik juga terjadi pada tanggal 6 November.
Salah satunya, kebakaran hebat terjadi di Gurun Sahara di Aljazair timur, 6 November 1961. Diawali percikan, nyala api, lalu gemuruh memekakkan telinga saat pipa-pipa pecah, melepaskan gas alam dalam jumlah besar.
Seperti dikutip dari New York Times, nyalanya api berkobar setinggi 140 hingga 240 meter, yang bahkan terlihat oleh astronot John Glenn dari orbit Bumi, selama penerbangan dengan pesawat antariksa Friendship 7 pada 20 Febuari 1962.
Sementara, pada 1963, Duong Van Minh secara resmi mengambil alih pemerintahan di Vietnam Selatan beberapa hari setelah pembunuhan terhadap Presiden Ngo Dinh Diem.




