Menlu AS: Strategi Pemerintah Donald Trump Hadapi Iran



Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mengeluarkan salah satu pernyataan dan stratego paling keras terhadap Iran, dengan memaparkan bahwa mereka akan terus "mengupayakan kampanye 'tekan maksimum" terhadap Negeri Para Mullah.

Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam sebuah artikel tertulis 15 Oktober 2018 --di tengah derasnya sanksi yang dijatuhkan oleh AS kepada Iran demi membendung upaya negara itu untuk membuat senjata nuklir dan semakin mempertajam pengaruhnya di Timur Tengah.





Dalam pernyataan itu, Pompeo juga membandingkan strategi yang dilakukan AS terhadap Iran sebagaimana yang mereka terapkan terhadap Korea Utara, yakni melalui 'tekanan-tekanan maksimum di berbagai lini'.

Berikut ini lengkap pernyataan tertulis Menlu AS Mike Pompeo, sebagaimana Liputan6.com peroleh dari Kedutaan AS di Jakarta, Jumat (2/11/2018).

Berakhirnya Perang Dingin memaksa pemikiran baru dikalangan pembuat kebijakan dan analis tentang tantangan terbesar terhadap keamanan nasional AS. Munculnya al Qaeda, kejahatan siber, serta entitas-entitas berbahaya lainnya mempertegas ancaman dari para pelaku non-negara. Tetapi yang sama menakutkannya adalah kebangkitan rezim-rezim jahat---negara-negara jahat yang melanggar norma-norma internasional, gagal menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, serta tindakan-tindakan melawan keamanan rakyat Amerika, para sekutu dan mitra A.S., dan seluruh dunia.
Tokoh utama diantara rezim-rezim jahat ini adalah Korea Utara dan Iran. Pelanggaran mereka terhadap perdamaian internasional sangat banyak, tetapi kedua negara paling dikenal karena menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk mengupayakan prgram senjata nuklir yang melangar larangan internasional.
Terlepas dari upaya terbaik Washington dalam berdiplomasi, Pyogyang menipu para pembuat kebijakan AS. dengan sejumlah kesepakatan pengendalian senjata dulu pada masa pemerintahan George H.W. Bush. Program senjata nuklir dan rudal balistik Korea Utara terus berlanjut, hingga pada saat setelah Donald Trump terpilih, Presiden Barrack Obama mengatakan kepadanya bahwa ini akan menjadi tantangan keamanan nasional terbesar baginya.
Dalam hal Iran, demikian juga, kesepakatan yang dibuat oleh pemerintahan Obama pada tahun 2015---Rencana Aksi Komprehensif Gabungan [Joint Comrehensive Plan of Action], atau JCPOA---gagal mengakhiri ambisi nuklir negara itu. Faktanya, karena Iran tahu bahwa pemerintahan Obama akan memperiotaskan kelanggengan kesepakatan di atas yang lainnya, JCPOA menciptakan rasa impunitas di pihak rezim tersebut, yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan dukungan untuk kegiatan yang merusak.
 Kesepakatan itu juga telah memberikan tumpukan uang untuk Teheran, yang digunakan oleh pemimpin tertinggi-nya untuk mensponsori semua jenis terrorisme di seluruh Timur Tengah (dengan beberapa konsekuensi sebaliknya) dan yang telah meningkatkan kekayaan ekonomi dari rezim yang tetap bertekad mengekspor revolusinya keluar negeri dan memaksakannya di negara sendiri.
Ancaman dari Korea Utara dan Iran yang meningkat di era pasca-perang Ira telah memperumit pernyataan tentang bagaimana cara terbaik melawan mereka; Amerika sudah sepatutnya skeptis terhadap biaya komitmen mliter yang berkepanjangan atas nama perlindungan dari senjaata pemusnah masal.
Dengan kesulitan dari Iraj yang masih segar dalam ingatan, dan dengan perjanjian sebelumnya untuk menahan ancaman dari Korea Utara dan Iran setelah terbukti tidak berdaya, menghentikan rezim-rezim yang keras kepala ini agar tidak melakukan hal yang membahayakan menuntut paradigma diplomatik baru.
Sekarang mengenai Presiden Trump. Unutk semua keresahan tentang kemantapan Washington dalam al gaya keterkibatan internasional, diplomasinya ditambatkan pada pendekatan penuh pertimbangan yang memberikan keuntungan kepada Amerika Serikat dalam Menghadapu rezim-rezim jahat. 





Doktrin Trump

 


Baik selama kampanye maupun setelah menjabat, Presiden Trump sudah sangat jelas tentang perlunya kepemimpinan Amerika yang berani untuk mengutamakan kepentingan keamanan Amerika Serikat.
Prinsip yang masuk akal ini merupakan kebalikan dari pemerinthan Obama yang lebih meyukai postur "kepemimpinan dari belakang", strategi akodomatif yang secara keliru menyiratkan hilangnya kekuatan dan pengaruh Amerika. Kepemimpinan dari belakang menjadikan Korea Utara sebagai ancaman yang lebih besar pada saat ini daripada sebelumnya. Kepemimpinan dari belakang paling baik hanya menunda upaya Iran untuk Republik Islam itu untuk tumbuh.
Saat ini, baik Korea Utara maupun Iran telah diperingatkan bahwa Amerika Serikat tidak akan membiarkan kegiatan destabilisasi mereka berlangsung tanpa kontrol.
Kampanye tekanan politik multinasional yang agresif yang telah dipimpin oleh Amerika Serikat terhadap Korea Utara, bersama dengan pernyataan yang begitu jelas dan tegas dari presiden bahwa Amerika Serikat akan melindungi kepentingan-kepintangan vitalnya dengan berpuncak pada pertemuan tingkat tinggi Presiden Trump dengan Ketua Kim Jong Un di Singapura bulan Juni lalu.
Di sanalah Ketua Kim berkomitmen untuk denuklirisasi final Keroa Utara yang terverifikasi secara penuh. Korea Utara telah membuat komitmen seupa di masa lalu, namun tidak seperti kali ini, unutk pertama kalinya berupa komitmen personal, komitmen antara pemimpin untuk denuklirisasi.
Itu mungkin dapat atau tidak dapat menjadi sebuah sinyal perubahan besar strategis di pihak Ketua Kim, dan punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengukur niatnya serta memastikan bahwa komitmennya diimplementasikan.
Namun pendekatan Presiden Trump telah menciptakan sebuah peluang untuk menyelesaikan secara damai sebuah masalah mengenai keamanan vital yang telah lama menjadi bahan perdebatan para pembuat kebijakan. Presiden, perwakilan khusus kita unutk Korea Utara (Stpehen Biegun), dan saya akan terus bekerja dengan pandangan yang jelas untuk menangkap peluang ini.
Sama halnya dengan Iran, pementrian Trump sedang mengupayakan kampanye "tekanan maksimum" yang dirancang untuk menyumbat pendapatan rezim itu---dan khusunya Korps Garda Revolusi Islam (Islamic Revolutionary Guard Corps [IRGC]), bagian dari militer  Iran yang bertanggung jawab secara langsung  kepada pemimpin tertinggi---yang menggunakannya untuk mendanai kekerasan melalui Hizbullah di Lebanon, Hamas di wilayah Palestina, rezim Assad di Suriah, pemberontakan Houthi di Yaman, milisi Syiah di Irak serta agen-agennya sendiri yang secara diam-diam bersekongkol di seluruh dunia.
Namun Presiden Trump tidak menginginkan lagi keterlibatan jangka panjang militer AS di Timur Tengah---atau di kawasan lain mana pun, untuk masalah itu. Dia telah berbicara secara terbuka tentang konsekuensi mengerikan dari invasi Irak tahun 2003 serta intervensi pada tahun 2011 di Libya.
Para pengkritik mungkin saja menciptakan ketakutan atas gagasan bahwa pemerintahan ini akan membawa Amerika Serikat ke dalam peperanganm namun sudah jekas bahwa rakyat Amerika memiliki (tanya saja ISIS, Taliban, atau rezim Assad), akan tetapi juga tidak menggebu-gebu untuk menggunakannya. Kekuatan militer yang besar akan menjadi barikade untuk melindungi rakyat Amerika, namun itu tidak seharusnya menjadi pilihan pertama.
Aspek penting lainnya dari diplomasi presiden adalah kesediaannya untuk berbicara dengann musuh-musuh Amerika Serikat yang paling bebuyutan. Sebagaimana dikatakanya pada bulan Juli, "Diplomasi dan keterlibatan dikehendaki daripada konflik dan permusuhan." Pertimbangan pendekatannya terhadap Korea Utara: diplomasinya bersama Ketua Kim meredakan ketegangan yangmengalamu ekskalasi secara perlahan.
Melengkapi kesediaan presiden untuk terlibat dalam keennggaran naluriahnya terhadap kesepakatan-kesepakatan yang buruk. Pemahamannya akan pentingnya pengaruh dalam negosiasi apapun mengeliminasi potensi untuk kesepakatan yang sangat kontraproduktif seperti JCPOA.
Ketika mempertimbangkan mengenai masa depan kesepakatan Korea Utara yang lebih penting daripada JCPOA, kami telah menguraikan tujuan kami yang adalah  "denuklirisasi Semenanjung Korea yang final, terverifikasi secara penuh, sebagai mana disepakati oleh Ketua Kim Jong Un."
"Final" berarti bahwa tidak akan ada kemungkinan bahwa Korea Utara akan pernah memulai kembali program senjata pemusnah masal dan rudal balistiknya---sesuatu yang tidak diberikan JCPOA untuk Iran.
"Terverivikasi secara penuh  berarti bahwa ada standar-standar verifikasi yang lebih tegas daripada yang disyaratkan dalam JCPOA, yang mana, di antara kelemahan-kelemahan lainnya, tidak mensyaratkan inspeksi di fasilitas-fasilitas kunci militer Iran. Bentuk pasti dari kesepakatan Korea Utara masih akan dinegosiasikan, namun "final" dan  "terverifikasi secara penuh" merupakan inti yang didalamnya kami tidak akan berkompromi. 



Ancaman Iran



Komitmen Presiden Trump terhadap keamanan rakyat Amerika, bersama dengan keengganannya untuk penggunaan yang tidak perlu atas kekuatan militer serta kesediaannya untuk menghadapi rezim-rezim jahat. Dan saat ini, tidak ada rezim yang memiliki lebih banyak karakter jahat daripada Iran.

Itu telah menjadi masalah sejak tahun 1979, saat sekelompok kader revolusioner Islam yang relatif kecil merebut kekuasaan. Pola pikir revolusioner rezim tersebut telah memotivasi tindakan-tindakanny asejak itu---faktanya, segera setelah pembentukannya. IRGC membentuk Pasukan Quds, satuan khusus pasukan elitnya, dan menugasinya untuk membawa revolusi tersebut ke luar negeri.

Sejak itu, para pejabat rezim itu telah menomorduakan tanggung jawab dalam negeri dan internasional lainnya, termasuk kewajiban kereka kepada rakyat Iran, demi memenuhu tujuan revolusi.

Sebagai akibatnya, selama empat dekade belakangan ini, rezim itu telah menabur sejumlah besar kehancuran dan instabilitas, perilaku buruk yang tidak dapat diakhiri melalui JCPOA. Kesempatan tersebut tidak akan mencegah secara permanen upaya Iran untuk mengembangkan senjata nuklir---tentu saja, pernyataan oleh pejabat tinggi program nuklir Iran pada bulan April bahwa negara itu dapat memulai kembali program nuklirnya dalam hitungan hari menandakan bahwa negara itu sama sekali belum menunda program tersebut sedikitpun.

Demikian juga kespepakatan itu tidak mengurangi aktivitas kekerasan dan destabilitas Iran di Afganistan, Irak, Lebanon, Suriah, Yaman, dan Gaza. Iran masih memasok rudal kepada kelompok Houhti yang ditembakkan ke wilayah Arab Saudi, mendukung serangan Hamas terhadap Israel, dan merekrut para pemuda Afganistan, Irak dan Pakistan yang mudah terpengaruh untuk berjuang memperoleh dua atau tiga kali lipat perbulan dibading pendapatan seorang petugas pemadam kebakaran di Teheran.

Pada bulan Mei 2018, Presiden Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir tersebut karena sangat jelas bahwa itu tidak melindungi kepentingan-kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat atau para sekutu dan mitra kita, itu juga tidak membuat Iran berprilaku seperti negara yang normal.

Pada bulan Juli, seorang diplomat Iran yang berkedudukan di Wina ditangkap karena memasok bahan peledak kepada para teroris  yang berusaha unutk mengebom dalam sebuah unjuk rasa politik di Prancis. Hal ini memberi tahu kita bahwa sementara para pemimpin Iran berupaya untuk meyainkan Eropa untuk tetap di jantung benua itu. Semua membawa penderitaan kepada rakyatnya sendiri.


Kampanye Tekanan


Alih-alih kesepakatan nukril Iran, Presiden Trump telah menginisiasi kampanye tekanan multiaspek. Komponen pertamanya adalah sanksi ekonomi. Presiden menyadari kekuatan sanksi untuk menekan rezim itu sementara menimbulkan biaya peluang rendah bagi Amerika Serikat. Di bawah pemerintahan Trump, Amerika Serikat telah mengenakan 17 kali sanksi terkait Iran, dengan menargetkan 147 individu entitas-entitas yang terkait dengan Iran.

Tujuan sanksi agresif ini ialah unutk memaksa rezim Iran membuat pilihan: menghentikan atau bersikeras dalam kebijakan yang memicu tindakan-tindakan tersebut sebagai pilihan pertama. Keputusan Iran untuk melanjutkan aktivitas destruktifnya telah mengakibatkan konsekuensi ekonomi yang mematikan, yang diperparah dengan tindakan salah urus yang kotor dari para pejabat dalam mengupayakan kepentingan-kepentingan pribadi mereka sendiri.

Campur tangan yang luas dalam ekonomi oleh IRGC, di balik samaran privatisasi, menyebabkan kondisi berbisnis di Iran menjadi proposisi kerugian , dan para investor asing tidak pernah tahu apakah mereka sedang memfasilitasi perdagangan atau terorisme. Alih-alih menggunakan kekayaan yang telah dihasilkan JCPOA untuk meningkatkan kesejahteraan materi rakyat  Iran, rezim itu telah mengisapnya bagai parasit dan membayar miliaran dalam bentuk subsidi kepada para diktator, teroris, dan misili jahat.

Dapat dimengerti bahwa rakyat Iran sedang frustasi. Upaya yang belum dibayarkan mangakibatkan maraknya pemogokan. Kekurangan bahan bakar dan air menjadi hal yang lumrah.

Malaise ini adalah masalah yang dibuat sendiri oleh rezim itu. Para elit Iran menyerupai Mafia dalam hal pemerasan dan korupsi mereka. Dua tahun lalu, rakyat Iran meledak dalam amarah yang sudah sepantasnya ketika bukti-bukti pembayaran yang dibocorkan memperlihatkan jumlah uang yang sangat besar yang mengalir tanpa penjelasan kedalam rekening bank para pejabat tinggi pemerintahan.

Selama bertahun-tahun, para ulama dan pejabat telah menutupi diri mereka di balik jubah agama sementara merampok rakyat Iran yang buta. Saat ini, teriakan atas pelanggaran hak asasi manusia, memiliki harta sedikitnya senilai 300 juta dolar AS, terima kasih atas penggelapann uang rakyat. Nasser Makarem Shirazi, ulama agung, juga memiliki harta senilai jutaan dolar AS.

Dia terkenal sebagai "Raja Gula" karena telah menekan pemerintahan Iran ntuk menurunkan subsidi kepada para produsen gula dalam negeri sementara membanjiri pasar dengan gulanya sendiri, gula yang lebih mahal.

Kegiatan semacam ini membuat rakyat biasa Iran kehilangan pekerjaan. Ayotollah Mohammad Emami Kashani, salah satu imam sholat Jumat di Teheran selama 30 tahun terakhir, meminta pemerintah memindahkan beberapa pertambangan yang menguntungkan ke dalam yayasan milik pribadinya. Dia juga sekarang memiliki harta bernilai jutaan dolar.

Korupsi berlangsung dari bawah keatas, Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, memiliki dana investasi pribadi tanpa pembukuan yang disebut Setad, yang bernilai 95 juta dolar AS. Kekayaan bebas pajak dan didapatkan secara ilegal itu, sering kali diperoleh dengan cara mengambil alih aset-aset kaum minoritas politik dan agama, dan digunakan sebagai dana gelam untuk IRGC. Dengan kata lain, tokoh agama pemimpin Iran menjadi semacam contoh karakter orang-orang kuat Dunia Ketiga.

Keserakahan rezim tersebut telah menciptakan jurang antara rakyat Iran dan para pemimpin mereka, menjadikannya sulit bagi para pejabat untuk membujuk kaum muda Iran secara kredibel untuk menjadi pelopor generasi revolusi selanjutnya. Kepemimpinan teokratis ayatullah dapat mengkhotbahkan "Kematian bagi Israel" dan "Kematian bagi Amerika" siang dan malam, namun mereka tidak dapat menutupi kemunafikan nyata mereka.

Mohammad Javad Zarif, menteri luar negeri Iran, memperoleh gelar dari San Fransisco State University dan University of Denver, dan Ali Akbar Velayati, penasihat tinggi untuk pemimpin tertinggi, belajar di John Hopkins University.

Khamenei sendiri disopiri ke mana-mana dengan mobil BMW, bahkan saat dua menyerukan kepada rakyat Iran untuk membeli barang-barang buatan Iran. Fenomena ini serupa dengan yang terjadi di Uni Soviet pada tahun 1970-an dan 1980-an, ketika semangat  1917 mulai menggema karena kemunafikan para juaranya. Politburo tidak bisa lagi berkata dengan wajahh tegak kepada para warga negara Soviet untuk menganut komunisme ketika para pejabat Soviet sendiri secara rahasia menjajakan celana jin biru dan rekaman Beatles seludupan.

Para pemimpin Iran---terutama mereka yang berada pada kepemimpinan puncak IRGC, seperti Qasem Soleimani, kepala Pasukan Quds---harus dibuat merasakan konsekuensi menyakitkan dari kekerasan an korupsi mereka. Mengingat bahwa rezim tersebut dikendalikan oleh keinginan unutk memperkaya diri sendiri serta ideologi revolusioner yang tidak akan mudah muncull beranjak darinya, sanksi harus keras jika mereka perlu mengubah kebiasaan yang sudah lama bercokol.

Itulah sebabnya pemerintahan Trump mengenakan kembali sanksi AS yang akan dilepas atau dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan nuklir; yang pertama dari rangkaian sanksi ini berlaku sejak 7 Agustus lalu ,sementara sisanya akan kembali diterapkan pada 5 November. Kami menghendaki agar impor global minyak mentah Iran sebisa mungkin mendekati nola pada tanggal 4 November.

Sebagai bagian dari kampanye kami untuk menghancurkan pendanaan teroris oleh rezim Iran, kami juga telah bekerja sama dengan Uni Emirat Arab untuk memutuskan jaringan pertukaran valuta asing yang mentransfer jutaan dolar kepada Pasukan Quds. Amerika Serikat meminta semua bangsa yang sudah bosan dan letih karena perilaku destruksif dari Republik Islam ini untuk berdiri bagi rakyat Iran dan bergabung dengan kampanye kami. Upaya kami akan dipimpin secara mumpuni oleh perwakilan khusus  kami unutk Iran, Brian Hook.

Tekanan ekonomi adalah salah satu bagian dari kampanye AS Pencegahan adalah hal lainnya. Presiden Trump percaya pada langkah-langkah yang jelas unutk mencegah Iran agar tidak memulai kembali program nuklirnya. atau meneruskan kegiatan-kegiatan jahat lainnya. Dalam hal Iran dan negara-negara lainnya, dia telah menyatakan secara jelas bahwa  dia tidak akan menoleransi upaya-upaya untuk menggertak Amerika Serikat; dia akan membalas dengan keras jika keamanan AS terancam.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong -un telah merasakan tekanan ini, dan dia tidak akan bersedia datang  ke meja perundingan di Singapura tanpa hal itu. Komunikasi publik presiden sendiri berfungsi sebagai mekanisme pencegahan. Cuitan dalam hal besar yang  dai tujukan kepada Presiden Iran Hassan Rouhani pada bulan Juli, yang di dalamnya dia menginstruksikan Iran untuk berhenti mengancam Amerika Serikat, diinformasikan melalui suatu kalkulasi strategis: rezim Iran memahami dan takut akan kekuatan militer Amerika Serikat.

Pada bulan September, milisi di Irak meluncurkan serangan roket yang mengancam jiwa ke arah kompleks kedutaan AS di Baghdad dan konsulat AS di Basra. Iran tidak menghentikan serangan-serangan ini, yang dilakukan oleh agen-agen yang didukungnya melalui pendanaan, pelatihan, dan senjata.

Amerika Serikat akan meminta pertanggung jawaban rezim di Teheran atas serangan-sengangan yang menyebabkan cedera pada personil kami dan kerusakan pada fasilitas kami. Amerika akan menanggapi dengan cepat dan tegas dalam melindungi nyawa orang Amerika.

Kami tidak ingin perang. Tetapi kami  harus memperjelas secara tegas bahwa eksalasi adalah kerugian bagi Iran; Republik Islam tidak dapat menandingi kecakapan militer Amerika Serikat, dan kami tidak takut untuk membiarkan para pemimpin IRan mengetahuinya.