7 Film Live-Action Adaptasi Anime/Manga Paling Mantul (Part1)



Dalam beberapa tahun kebelakang, para penikmat anime atau manga lebih terbiasa alergi dengan film live-action yang diadaptasikan diri karya favorit mereka. Mau bagaimana lagi, hasilnya kerapkali mengecewakan dan jauh dari ekspektasi. Sebut saja dianataranya Shingeki no Kyoujin atau yang terbaru, Fullmetal Alchemist. Diangkat dua dari sekian banyak manga/anime terbaik yang pernah dijiptakan, kedua film ini ujung-ujungnya malah berakhir memalukan.

Namun, sealu ada momen manis dalam setiap cobaan yang datang bertubi-tubi. Momen manis ini muncul dalam wijud film adatasi anime/manga yang ternyata punya kualitas yang baik  dan setia  kepada material canon-nya. Fenomena yang mesti diapresiasi karena hal ini jarang terjadi.

Dibawah ini ada tujuh film adaptasi anime/manga terbaik. Enggak semua diproduksi oleh sineas Jepang. Ada juga yang dibikin oleh Hollywood atau Korea Selatan. Sebagian di antaranya pasti udah lo tonton, sebagian lainnya mungkin belum. Tanpa berlama-lama lagi, berikut adalah daftar selengkapnya!



1. Gantz



Kei Kurono cuma seorang siswa SMA biasa dengan pola kehidupan lurus lempeng yang menjemukan. Seperti itulah situasinya hingga dia dan sobat masa kecilnya yang kembali berusia tanpa sengaja, dihadapkan pada bola hitam misterius, Gantz. Dan petualangannya yang paling mengerikan dan ajaib ini pun dimulai.

Tanpa menyertakan ending-nya yang kurang memuaskan, manga Gantz mendapat apresiasi yang luar biasa dari khalayak. Dan pasca adaptasi animenya gagal di pasaran, Gantz kembali diangkat. Kali ini  dalam sebuah dwilogi film live-action, yakni Guantz (2011) dan Gantz: Perfect Answer (2011). Hasilnya? Meski bukan yang teraik, film ini berhasil membawa angin penyegaran terhadap genre sci-fi yang kerontang.

Atmosfer yang sadis dengan efek animasi yang memadai bisa lo nikmati dari dwilogi flm ini.Beberapa adegan penting seperti pertarungan hidup mati melawan alien Budha serta adegan klasik menghadapi gerombolan vampir dikereta bawah tanah juga direka ulang secara apik. Memang tak sepenuhnya setia pada material orisinilnya. Namun, hal tersebut bikin dua film ini layak masuk wishlist penikmat film adaptasi anime.






2. Orange



Keterbatasan teknologi dan (tentu saja) anggaran yang dimiliki para sineas asli Jepang membuat anime/manga bergenre drama dan romansa hampir selalu jadi target untuk dibuatkan adaptasi filmnya. Namun , bukan berarti semua film ini pasti berakhir memuaskan. Sebagian diantaranya justru gak lebih baik dari karya originalnya. Untungnya, Orange tak termasuk dalam kategori tersebut.

Film ini menceritakan liku-liku kisah sekelompok sahabat remaja dalam nuansa sinematografi yang manis dan hangat. Enggak melulu perkara cinta monyet. Orange juga berusaha mengupas pergolakan batin yang memang nyata terjadi dan dialami remaja Jepang hingga membuat mereka lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Sorot lampu paling banyak diarahkan kepada dua insan utamanya, Naho Takamiya dan Kakeru Nakase. Usai mendapat surat misterius dari "dirinya di masa depan", Naho mulai menyusun strategi agar kelak enggak mengulang kesalahan yang konon akan disesalinya seumur hidup. Didukung oleh komposisi musik yang menggetarkan jiwa, lo dijamin bakal berlinang air mata menyaksikan adega puncak. upaya bunuh diri Kakeru.





3. Detroit Metal City



Siapa yang mengira bahwa musisi introvert berpenampilan culun dengan gairah menggebu di genre J-pop bisa menjelma menjadi pentolan band death metal hardcore dan pandai berkostum rias layaknya personel KISS? Skenario kocak ini menimpa Negishi (Kenichi Matsuyama), seorang pemuda kampung yang pindah ke Tokyo untuk mengejar cita-cita luhurnya menjadi penyanyi pop kesohor.

Film ini enggak mengalami kendala erarti dalam merepresentasikan karakter utamanya Negichi si pendiam yang baik hatim dikisahkan punya kepribadian ganda. After ego-nya adalah si raja iblis belantika musik bawah tanah, Krauser.

Kisahnya semakin pelik tatkala Negishi mulai menyadari bahwa dunia yang sebenarnya baginya bukan untuk musik pop, tapi berkubang dalam kerasnya musik death metal. Dikemas secara dramatis dengan unsur komedi yang meletup-letup, film Detroit Metal City bisa dijadikan lentera pemandu buat lo yang bingung nentuin jalur dalam bermusik.





4. Oldboy


Seorang pria dipenjara dan disiksa selama lebih dari sedekade atas musahab yang tak pernah diberitahukan kepadanya. Tepat pada tahun ke-15, setelah dia dengan sengsaranya dikurung dalam ruang yang pengap dan sempit. eks pegawai kantoran ini lalu membulatkan tekat untuk mencari sosok yang telah merampas kehidupannya. Akan tetapi, Oh Dae-su, nama pria ini, mungkin enggak akan pernah menyangka bahwa takdir tragis menanti diujung pencariannya.

Oldboy adalah jenis film yang sulit dicernakalau lo meleng sedikit aja. Diperlukan konsentrasi tinggi untuk memahami alur kompleks dan maksud tersirat yang ingin disampaikannya. Kalau semua berjalan lancar, lo akan paham mengapa cerita manga kriminal yang diangkat kelayar lebar oleh sutradara Korea Selatan, Park Chan-wook ini pantas menyabet rentetan penghargaan prestisius di sejumlah ajang apresiasi film.





5. Edge of Tomorrow


Adaptasi anime/manga oleh sineas Hollywood biasanya lekat dengan kegagalan dan memantik gelombang protes penolakan dari para penggemar karya aslinya. Akan tetapi, ada pengecualian untuk film ini. Dibintangi oleh aktor kawakan yang sudah enggak asing lagi Tom Cruise, Edge of Tomorrow adalah anomali langka dari sekian banyak film adaptasi yang tersungkur mengenaskan di pasaran.

Diangkat dari light novel All You Need Is Kill karangan Hiroshi Sakurazaka, film ini mengetangahkan seorang elite prajurit yang terpaksa ikut turun ke gelanggang perang untuk menahan gempuran ras alien bernama Mimics . Ketika tewas, dia sadar ada hal ganjul yang menima dirinya.

Cage secara kontinu kembali hidup dan terlempar keperiode satu hari sebelum pertempuran yang menentukan itu dimulai. Untuk bagi Cage karena dia dibimbing oleh Sersan Rita Vrataski, Malaikan Verdun, yang sebelumnya pernah engalami hal yang sama.

Premis time-loop bukan inovasi yang baru dalam jagat perfilman. Namun, film ini sukses menerjemahkan (hampir) semua materi dalam manganya secara jitu dan sensasional ke dalam gambar bergerak. Efek vidual yang tersajipun tak main-main. Mekanisme baju tempur exoskeleton yang berat tapi perkasa versus liar dan ganasnya pergerakan para Mimics menghasilkan pengalaman menonton yang gak mudah terlupakan. Berdoa aja supaya Hollywood bisa lekas kembali ke jalan yang benar seperti film ini.





6. As the Gods Will


Kehidupan menonton Shun Takahata berubah drastis saat dia ersama teman-temannya dipaksa terlibat dalam serial permainan kematian. Maneki Neko, Kokeshi dan Daruma, sejatinya adalah permainan tradisional yang menyenangkan. Tapi entah siapa dalang di baliknya, permainan ini lalu disulap menjadi permainan penentu hidup dan mati.

Saat menyaksikan film ini, lo akan dibombardir oleh adegan-adegan mengerikan seperti tubuh yang terkoyak, bola mata yang tercongkel keluar, atau isi perut yang terburai tak karuan. Banjir darah seaan jadi ornamen yang selalu menghiasi tahapan tempat yang para siswanya lalui. Kendati dipungkas oleh ending yang kurang greget,  As The Gods Will tetap divavoritkan oleh para pecinta film sadis dan suka adegan kekerasan.





7. Rurouni Kenshin


Trilogi Rurouni Kenshin adalah mahakarya sempurna yang layak dijadikan partron oleh para producer yang hendak menciptakan film berbasis anime atau manga dengan kemunculan film anime/manga yang kelampau lebih sering gagal memuaskan dahaga mereka  alih-alih sebaliknya.

Poros cerita masih dititikberatkan kepada Kenshin Himura, mantan pembunuh bayaran yang berupaya menembus dosa-dosa masa lalunya dengan cara melindungi orang-orang tak bersalah dari para penjahat. Perjalanannya terus berlanjut hingga ia menumpas otak utama dibalik balik segala huru-hara yang terjadi diera pemerintahan Meiji, Shishio Makoto.

Diperkuat oleh jajaran aktor dan aktris paling bersinar di Jepang, Takeru Satoh, Emi Takei, hingga Tatsuya Fujiwara, elemen utama film ini adalah kombat pedang yang tampak begitu mirip dengan animenya, namun terasa realistis. Sekuens aksinya begitu intens dan berlangsung dalam tempo yang cukup lama. Berpaku pada material canon-nya, film ini juga berhasil menyeimbangkan aspek romantika, humor, dan pengembangan karakter di dalamnya. Pokoknya recommended banget, deh!





Bagaimana pendapat lo terhadap daftar ini? Setuju, atau ada yang membuat lo ingin berpendapat karena enggak setuju? Intinya, jangan pesimis kalao lo sering menemui film live-action anime/manga yang kualitasnya malu-maluin. Masih ada film-film adapatasi anime/manga yang bikin bangga. Sebab, sensasi menyaksikan anime/manga favorit dalam format live-action, apabila dieksekusi dengan baik, tentu akan jadi pengalaman yang takkan udah terlupakan.