Kemarin, tepatnya pada 22 Desember 2018 sekitar pukul 21.00 WIB,Ibu Pertiwi kembali dirundung duka. Musibah tsunami yang terjadi di Selat Sunda telah menelan korban jiwa.
Piggiran pantai Anyer, Carita, Hingga Tanjung Lesung (Banten) porak poranda. Menurut data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), nyawa dari 222 orang dilaporkan melayang, 843 luka-luka dan 29 belum ditemukan. Jumlah tersebut bahkan diperkirakan akan terus bertambah
Tidak ada peringatan ketika air laut tiba-tiba menyapu bibir pantai pada malam itu. Gempa pun tidak terasa. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, gelombang tinggi tersebut diperkirakan bersal dari aktivitas intensif Anak Krakatau --gunung berapi yang kini terus menunjukkan keaktifannya.-- dan longsoran materialnya.
Tetapi, gemuruh dan letusan Anak Krakatau telah digambarkan oleh para ahli lokal sebagai skala yang relatif rendah semi continue. Dengan kata lain, itu tidak terlalu berbahaya.
Kendati demikian, hal yang perlu diketahui oleh masyarakat adalah bahwa gunung berapi yang berada dilaut memiliki kemampuan untuk menghasilkan gelombang besar.
sentinel-1 satellity imagery analysed: Apparently clear loss of land at southern flank of #anak #krakatoa #volcano. This lead to the #tsunami #landslide affecting #Banten and #Lampung, #Indonesia (post-image from 22:35 UTC, Dec, 22nd) pic.twitter.com/OV8kBcEaId— CATnews (@CATnewsDE) 23 Desember 2018
Citra satelit Gunung Anak Krakatau yang dirilis oleh NASA pada 23 Desember menunjukkan dengan jelas adanya keruntuhan disisi barat daya Anak Krakatau selama erupsi. Eupsi ini mengirim jutaan ton puing berbatu ke laut, sehingga mendorong gelombang pasang ke segala arah.
Seorang ahli gunung berapi, Profesor Andy Hooper dari Leeds University, Inggris, menerangkan bahwa ia memiliki sedikit keraguan ketika memeriksa gambar dari radar pesawat ruang angkasa milik Eropa: Sentinel-1.
"Ketika muncul peningkatan ukuran kawah, ada fitur gelap baru di sisi barat (gunung) yang menunjukkan kerak sisi curam dalam bayangan, mungkin karena runtuh. Serta ada perubahan di garis pantai," ujarnya, sebagaimana dikutip dari BBC, Senin (24/12/2018).
Perbandingan antara citra satelit NASA dan foto-foto dari Sentinel, yang diperoleh sebelum tsunami, pun ia jabarkan.
Akan tetapi, anatomi yang tepat dari peristiwa ini tidak akan diketahui sampai tim peneliti dapat masuk ke area gunung berapi untuk melakukan suvei secara akurat.
Sementara itu, Andy menambahkan bahwa longsor gunung lebih lanjut, bisa memicu lebih banyak tsunami.
Satu kelompok ilmuwan bahkan mencontohkan apa yang akan terjadi jika bagian barat daya --sisi Anak Kraktau yang saat ini dianggap paling tidak stabil-- runtuh.
"Gelombang yang tingginya mencapai puluhan meter akan menghantam pulau-pulau terdekat seperti Sertung, Panjang dan Rakata dalam waktu kurang dari satu menit," kata tim tersebut.
Namun, ketika gelombang-gelombang ini menyebar melintasi Selat Sunda, gelombang-gelombang itu akan berhamburan hingga mencapai ketinggian satu hingga tiga meter.
Wilayah ini diprediksi akan mejadi subyek pengawasan ketat dalam beberapa minggu kedepan.
Andy menambahkan, tsunami yang didorong oleh tanah longsor atau batuan dari gunung berapi, bisa sangat besar. Dalam catatan geologis, material vulkanik inilah yang bertanggung jawab atas terjadinya bencana alam dashyat.
Baru-baru ini di Greenland pada tahun 2017, gelombang laut setinggi 100 meter muncul karena adanya longsoran batu memasuki fjord, dibarat negara itu.
"Dan asih ada beberapa kemungkinan bahwa tsunami yang terjadi pada September di Sulawesi, diperkuat oleh perpindahan massa sendimen, baik yang memasuki air dari pantai atau menuruni lereng bawah laut di Teluk Palu,"pungkas Andy.