Krisis Venezuela, Vladimir Putin Bertekad Lindungi Nicolas Maduro dari AS

Presiden Rusia Vladimir Putin (AP/Alexei Nikolsky)

Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji untuk mendukung Venezuela, yang ia sebut sebagai "mitra strategis" Moskow di Amerika Selatan dan mempertingatkan konsekuensi "bencana" jika Amerika Serikat mengirim bantuan militer kepada pemimpin oposisi atau 'presiden interim Venezuela' Juan Guaido.

Sementara itu, pada Jumat 2 Februari 2019, Rusia menawarkan utntuk menengahi antara pemerintahan "sah" Presiden Nicolas Maduro dan opsisi yang dipimpin 'presiden interim'Juan Guaido jika perlu, dengan mengatakan pihaknya siap bekerja sama dengan semua kekuatan politik yang bertindak secara bertanggunjawab.

Komitmen Presiden Putin mejadi salah satu dukungan terbesar yang diperoleh Presiden Nicolas Maduro, ketia Washington DC tengah mengidentifikasikan desakannya untuk menggulingkan lawan Guaido itu dari kekuasaannya, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera.



Pernyataan Putin mengemuka setelah AS mengadakan sesi khusus di Dewan Keamanan PBB akhir pekan lalu yang berfokus pada krisis di Venezuela. Rusia menggunakan sesi tersebut untuk memperingatkan terhadap intervensi asing dinegara Amerika Latin dan menuduh AS berusaha melakukan "kudeta".

Tekad presiden Putin it ujuga datang setelah muncul laporan bahwa Moskow menerbangkan tim tentara swasta untuk melindungi Madudo dan 'kepentingan' bisnis minyak Rusia di Venezuela, menurut laporan kantor berita Reuters --namun telah dibantah oleh Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov.



Persoalan Minyak

Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia telah menjadi "pemberi pinjaman terakhir" dari keruntuhan ekonomi Venezuela, dihancurkan oleh penurunan harga minyak, hiperinflasi, dan sanksi AS.

Pada 2017, Reuters melaporkan bahwa pemerintah Rusia dan perusahaan minyak milik negara terbesar Rusia, Rosneft, memberikan Venezuela setidaknya US$ 17 miliar dalam bentuk pinjaman dan kredit antara 2016 dan 2017, menjadi sponsor terbesar Venezuela, setelah China.

Perusahaan minyak negara Venezuela (PDVSA) telah secara diam-diam bernegosiasi dengan Rusia sejak setidaknya awal 2018, menawarkan Rosneft kepemilikan saham hingga sembilan proyek minyak bumi paling produktif Venezuela, menurut Reuters.

Rosneft sudah memiliki saham minoritas di lima proyek bersama PDVSA, yang menghasilkan 59 miliar barel minyak pada 2017, lebih dari delapan persen dari hasil tahunan Venezuela.

Maduro juga mendatangi kesepakatan yang memberi Rosneft 49,9 persen dari kilan minyak Citgo yang berbasis di Venezuela sebagai jaminan setelah Rusia meminjamkan US% 1,5 miliar ke PDVSA.

Pengaruh Rosneft yang meningkat di PDVSA membantu memposisikan Rusia sebagai perantara dalam penjualan minyak Venezuela kepada pelanggan di seluruh dunia, termasuk pasar AS.

Raksasa bahan bakar Rusia itu saat ini menjual kembali sekitar 225.000 barel per hari minyak Venezuela --sekitar 13 persen dari total eksport negara itu, menurut laporan perdangan PDVSA.

Vladimir Rouvinski, seorang ahli kebijaksanaan luar negeri di Universitas Icesi di Kolombia, mengangkat, hubungan antara Rusia dan Venezuela didasarkan pada diplomasi pribadi tingkat atas, oleh karenanya, perubahan kepemimpinan Venezuela mengancam pengaruh Rosneft di Amerika Latin.

Oposisi Venezuela pernah mengatakan, begitu berhasil berkuasa, merekatidak akan menghormati usaha bersama Rosneft dan PDVSA.

Tetapi Rusia tidak pernah berharap untuk membuat keuntungan nyata di Venezuela, menurut Rouvinski.

Runtuhnya pemerintahan Maduro akan memiliki signifikansi polsitik yang jauh lebih besar dari pada kepentingan ekonomi bagi Moskow.

"Tanpa dukungan Putin, oposisi akan memiliki waktu yang jauh lebih mudah untuk mengambil kekuasaan," kata Rouvinski.

Ketika oposisi Venezuela memperoleh kekuatan dan dukungan internasional, para ahli yakin bahwa Putin akan melakukan apapun untuk menjaga Maduro tetap berkuasa.

Pete Duncan, seorang profesor politik Rusia di University College London mengatakan, "Rusia tidak punya alasan untuk mundur" dari Venezuela.

Analis: Venezuela Aset Rusia di Amerika Selatan

Analisis menilai, tekad Putin untuk membantu Maduro dilatarbalakangi oleh cukup besarnya kepentingan Rusia, terutama, perihal bisnis minyak beberapa perusahaan Negeri Beruang Merah di Venezuela --di sampin berbagai latar-belakang historis lainnya.

Pete Duncan, seorang profesor politik Rusia di University College London mengatakan: "Kehilangan hubungan dengan Venezuela akan menjadi pukulan besar bagi Rusia. Putin akan melakukan yang terbaik untuk mencegah pergantian rezim," demikian seperti dilansir Al Jazeera.

Pada pertengahan 1990-an, Rusia mencari peluang bisnis di Amerika Latin.

 DIbawah Hugo Chavez --pendahulu Maduro-- Rusia menjadi salah satu sekutu terkuat Venezuela dengan ikatan ekonomi mulai dari minyak dan pinjaman hingga penjualan senjata.

Di sisi lain, analis berbeda menyatakan bahwa dukungan Rusia terhadap Venezuela sama seperti bagaimana Moskow membantu pemerintah Suriah dalam menghadapi perang saudara.

Anton Barbashin, seorang analis politik di Wilson Center, mengatakan: "Alasan utama mengapa Rusia mendukung Maduro adalah prinsip yang sama mengapa ia mendukung (Presiden Suriah Bashar) al-Assad, yakni keyakinan bahwa tidak ada kekuatan asing yang boleh ikut campue dalam urusan kedaulatan dari negara tertentu."

Sedangkan Vladimir Rpuvinski, seorang ahli kebijakan luart negeri di Universitas Icesi di Kolombia, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Kremlin memandang Venezuela sebagai halaman belakang AS - di bidang pengaruh politik Washington DC --sama seperti AS memandang Ukraina sebagai halaman belakang Rusia.

Pengamat eksternal biasany memandang Kuba sebagai sekutu utama Amerika Latin Rusia, tetapi Rouvinski mengatakan Rusia tidak pernah berhasil mengembalikan tingkat kepercayaan yang sama di Havana seperti di zaman Soviet.

Tingkat kepercayaan antara Moskkow dan Caracas tidak ada bandingannya.

"Venezuela adalah aset terakhir Rusia di Amerika Latin (selatan)," kata Rouvinski.

"Rusia ingin setidaknya memiliki 'keterlibatan simbolis' di Amerika Latin sebagai balasan atas intervensi AS di Ukraina," kata Rouvinski.

Putin menemukan sekuti di Venezuela. Almarhum Hugo Chavez, dan sekarang Nicolas Maduro, telah berbagai pandangan yang sama dengan Putin, menentang hegemoni AS.

Sementara itu hubungan antara AS dan Venezuela mulai memburuk dengan tajam ketika Presiden sosialis Chavez terpilih pada 1999.

Di bawah pemerintahan Presiden George HW Bush yang dimulai pada tahun 2001, Chavez menjadi sangat kritis terhadap kebijakan luar negeri "imperialistik" Washington di Timur Tengah termasuk invasi ke Irak.

AS, sementara itu, telah mengkritik tren otoriter yang meningkat dan pelanggaran hak asasi manusia di Venezuela.

Pada 2015, hubugan Caracas dan Washington mencapai titik terendah ketika mantan Presiden Barack Obama mengeluarkan perintah eksekutif, menyatakan Venezuela sebagai "ancaman terhadap keamanan nasional AS" dan memerintahkan sanksi terhadap tujuh pejabat Venezuela.

Sanksi AS terhadap Venezuela, yang semakin intensif dibawah Presiden Donald Trump, melarang perusahaan atau orang-orang yang berbasis di AS membeli dan menjual utang baru yang dikeluarkan oleh badan minyak yang dikelola negara, Petroleos de Venezuela (PDVSA) atau berhubungan bisnis dengan Caracas.