Nominasi Academy Awards 2020 sudah diumumkan dan, buat "Best Picture", ada 9 film yang bersaing memperebutkan Piala Oscar nanti. Salah satunya adalah film 1917 yang akan kita bahas nanti. Baru mulai tayang terbatas di Indonesia pada 18 Januari dan tayang reguler mulai 22 Januari.
Film ini sebetulnya sudah rilis di Amerika Serikat sejak 25 Desember 2019 dan rilis pertama kali di London pada 4 Desember 2019. Makanya, kalian beruntung banget dapat kesempatan karya masterpiece Sam Mendes (American Beauty, Skyfall) ini di bioskop Tanah Air.
Mengisahkan pengalaman dua prajurit yang diperintahkan buat menyampaikan pesan penting yang dapat menyelamatkan 1.600 pasukan di Devonshire Regiment. Berbekal surat perintah langsung dari jenderal, keduanya melanjutkan perjalanan panjang berkejaran dengan waktu. Sebelum matahari terbit, pesan tersebut harus sudah disampaikan.
Pengalaman kedua prajurit ini wajib banget kalian ikuti dalam film berdurasi 119 menit ini. Langsung saja simak ulasannya dibawah ini!
Horor Peperangan yang Nyata
Sam Mendes memulai inisiatif pembuatan film 1917 dengan alasan yang sederhana. Kakeknya, Alfred Mendes, semasa kecil pernah menceritakan kisahnya saat Battle of Passchendaele, ketika dirinya mengajukan diri untuk misi berbahaya menemukan tentara yang terluka yang tersebar di seluruh No-Mans Land. Dongeng sebelum tidur yang mengisi masa kecil Sam Mendes inilah yang menginspirasi dirinya buat membuat film yang diadaptasi dari kisah itu.
Meski enggak sepenuhnya menampilkan sejarah perang yang akurat (para tokoh dalam film ini bukanlah sosok representatif dari veteran perang), film ini berhasil menampilkan kengerian perang yang terasa nyata.
Menampilkan sudut pandang yang terbatas, kalian bakal diajak sedikit demi sedikit menyaksikan bagaimana kedua prajurit dengan misi besar ini meyelesaikan misinya. Suara napas terengah-engah, kegelapan pekat, langkah kaki, hingga beratnya jalanan berlumpur yang dilewati berhasil banget membuat horor yang dibutuhkan.
Detail yang Memukau
Dalam waktu kurang lebih 8 jam, William Schofield dan Tom Blake harus menyampaikan perintah mundur dari peperangan kepada Batalion Kedua dari Devonshire Regiment yang berada di garis depan peperangan. Jerman yang diduga mundur karena kalah ternyata malah sedang menyiapkan strategi buat menghhajar habis pasukan Inggris dalam pertempuran tersebut.
Akan tetapi, buat mencapai ke garis depan, ada jarak sekitar 17 km yang harus ditempuh dengan berjalan kaki tentunya. Makanya, pesan ini penting disampaikan sehingga bisa dibilang Scho (panggilan Will) dan Tom menjalani misi "bunuh diri" karena merak enggak tahu apa yang menanti dalam perjalanan.
Setelah melewati parit pasukan Inggris, mereka harus melalui No-Man's Land dengan kemungkinan masih ada pasukan Jerman di sana. Dari sinilah kalian bisa lihat detail yang bikin kalian menganga.
No-Man's Land, sebagaimana selama ini digambarkan di banyak film, adalah area kosong yang belum diduduki siapa pun yang kalian enggak tahu apa yang bakal kalian temui di sana. Tumpukan mayat, lubang yang terlalu dalam sampai kaian bisa mati karena jatuh di sana, hingga gas kimia yang mematikan merupakan ancaman.
Film 1917 berusaha menampilkan gambaran yang akurat dari kengerian ini. Sambil mengikuti perjalanan kedua tokohnya, kalian bakal dikejutkan dengan tubuh yang tersangkut di pagar kawat, tangan yang menjulur dari parit perlindungan, hingga tubuh membusuk yang mengambang di sungai.
Bahkan, kalian bisa lihat warna kehidupan yang memudar saat seorang prajurit mendekati kematiannya. Semuanya terasa sangat nyata banget sampai-sampai kalian memang berada di sana menyaksikan sendiri semuanya.
Pengambilan Gambar yang Brilian
Film 1917 menampilkan editing yang halus banget sampai-sampai kalian merasa film ini adalah sebuah one shot yang panjang. Setiap adegan ditampilkan dalam sekuens yang teratur yang bisa menipu kalian, tapi dalam artian baik.
Menonton film ini, kalian bakal merasa kayak lagi walkthroug game dengan karakter yang mesti menyelesaikan misi khusus. Karena diambil dari sudut pandang orang ketiga yang mengikuti pergerakan pergerakan terbatas kedua tokohnya, dari saat pertama ketika mereka dipanggil untuk mendapatkan misi hingga menyelesaikan misis tersebut, kalian bakal merasakan persis apa yang dirasakan kedua tokohnya.
Ketika mereka melewati No-Man's Land, kalian bakal merasakan ketegangan mereka yang waspada kalau-kalau ada pasukan Jerman di sana. Bahkan, ketegangan ini enggak berakhir ketika mereka kahirnya menemukan bahwa pasukan Jerman beneran udah pergi. Saat Scho dan Tom mulai merasa lega menemukan bunker Jerman yang kosong, kalian mungkin malah masih merasa was-was.
Akan tetapi, antisipasi ini bukannya bikin film ini tertebak. Justru, film ini berhasil bikin kalian merasa kayak berada dalam situasi yang dirasakan para tokohnya. Berada dalam peperangan, kalian tahu nyawa kalian bisa melayang kapan pun.
Dengan sudut pengambilan gambar yang membatasi pandangan, kalian enggak tahu apa yang menanti setelahnya. Jadi, ketegangan dan horor yang terbangun berkat gaya pengambilan game ini berhasil tersampaikan.
Kalau kalian pernah nonton Birdman (2014), kalian mungkin familier sama gaya pengambilan gambar ini. Namun, long shot dengan latar belakang peristiwa perang bikin film ini epik dan layak bersaing buat memenangkan "Best Picture" Oscar tahun ini.
Drama yang Enggak Menjemukan
Enggak bisa dimungkiri bahwa film 1917 pada dasarnya merupakan drama peperangan yang pastinya menjual kisah heroik para tokohnya. Kali ini, kisah heroik tersebut disajikan dari sudut pandang dua prajurit biasa yang dengan segala usahanya berusaha memenuhi misi khusus demi mencegah 1.600 pasukan Inggris dibantai dalam medan pertempuran yang sejak awal udah berat sebelah.
Meski kalian mungkin bisa menebak bahwa dalam setiap kisah heroik bakal ada kematian yang menyakitkan atau kenyataan pahit yang enggak terelakkan, 1917 mengemasnya dengan manusiawi tanpa melebih-lebihkan satu bagian atau bagian lainnya.
Jadi, meski tetap ada saja narasi yang rasanya pasti ada di setiap film perang, film 1917 enggak menjadikan hal itu sorotan. Bahkan, kalian mungkin baru bakal sadar menjelang akhir film bahwa sejak awal kalian enggak dikasih latar belakang apa pun soal kedua tokoh penting di dalamnya yang bikin kfilm ini justru jadi minim drama. Sam Mendes kayak engak mau bikin kalian terdistraksi dari drama yang seharusnya, kengerian perang yang enggak bisa dimungkiri.
Apapun latar belakang mereka yang bertempur di medan perang, saat berada di medang, mereka menggenggam satu tujuan: hidup. Sam Mendes bahkan enggak melupakan keterlibatan orang India dan prajurit dengan ras campurang lainnya dalam Perang Dunia I.
Berada di medan perang memang bukan pilihan, tapi mereka bertempur dengan tujuan tetap hidup dan pulang menemui orang yang mereka sayangi. Nilai inilah yang bakal kalian demukan dalam film 1917, walaupun memang enggak ditunjukkan secara gamblang.
Film ini mungkin memang enggak mendramatisi kematian dan peperangan. Andrew Scott yang memerankan Letnan Leslie bahkan santai saja saat bilang, bahwa Scho dan Tom enggak berhasil melewati No-Man's Land, dia mau mereka melemparkan kembali pistol suar mereka.
Seorang prajurit dengan santainya menjawab kapten mereka sudah mati beberapa hari lalu ketika ditanya ke mana kapten mereka. Seakan mereka yang terlalu lama berada di medan perang sudah mati rasa, film 1917 justru menggambarkan rasa ngilu dari peperangan dengan nyata.
Jadi, drama di dalamnya bisa kalian nikmati tanpa jemu. Malah, ketika selesai, meski memang rampung dengan baik, kalian mungkin berharap masih berharap masih ada yang tersisa dan rasanya perlu diceritakan lagi. Soalnya, sebagaimana yang dikatakan Kolonel Mackenzie, perang cuma menyisakan orang terakhir yang bertahan.