5 Perusahaan Game yang Terkenal Serakah dan Memeras Pemain

5 Perusahaan Game yang Terkenal Serakah dan Memeras Pemain

Industri game terkenal pendapatan sangat besar. Dilaporkan oleh Newzoo, pada 2019 silam, share market dari industri game secara global bernilai lebih dari 152 juta miliar dolar Amerika. Angka ini akan bertambah setiap tahunnya dengan kenaikkan sekitar 10%. Tentunya ini menjadi bukti jika industri ini sangat berjaya dan mengalahkan pendapatan industri film da musik jika digabungkan.

Perputaran uang di industri game sangat cepat. Sayangnya, ini membuat banyak perusahaan game lebih mementingkan keuntungan dibanding memberikan kualitas dari permainan yang ditawarkan. Malah, banyak juga perusahaan game serakah yang enggak berhenti memeras pemain. Kira-kira, perusahaan game mana saja, ya, yang sering bikin jengkel penggemarnya? Simak daftarnya berikut ini!

1. Electronic Arts

Sejak mengganti model bisnis mereka dan doyan menyuapi pemainnya dengan DLC, Electronic Arts bisa dibilang sebagai perusahaan game yang sangat serakah. Bagaimana tidak? Para penggemar Star Wars sangat meradang kala game Battlefront yang mereka kembangkan dibanderol dengan harga sangat mahal tapi kontennya sedikit. Mereka pun memeras pemain untuk membeli konten tambahan jika ingin menikmati sajian lainnya.

Model tersebut berlaku juga untuk banyak waralaba game lain, seperti The Sims serta Dragon Age. Untungnnya, EA seakan-akan insaf dan akhirnya mengubah model bisnis dengan mengembangkan game story based dan multiplayer yang berimbang. Pada 2019 silam, keberhasilan mereka dari Star Wars Jedi: Fallen Order dan Apex Legends berhasil membuat para pemain bisa kembali percaya dengan perusahaan game besar asal Amerika Serikat ini.

2. Epic Games

Enggak hanya berhenti dengan mempopulerkan Fortnite, Epic Games berusaha meraup pundi-pundi uang dengan sangat besar kala membentuk platform game digital, Epic Games Store. Mereka pun memberikan konsinyasi atau bagi hasil yang menguntungkan bagi developer, tapi sayangnya, game yang mereka rilis harus menjadi ekslusif. Sontak, hal ini membuat para penggemar game PC meradang.

Sebelumnya, game digital yang bisa dibeli di platform digital enggak pernah memberi embel-embel ekslusivitas semacam ini. Malah, Epic Games terlihat makin serakah kala Fortnite dirilis untuk mobile tanpa menggunakan platform resmi dari Play Store maupun App Store. Alhasil, sang perusahaan terlihat sangat egoistis dan ingin meraup banyak penghasilan dalam sekali kesempatan saja.

3. Activision

Hampir sempat bangkrut lantaran waralaba gamenya sering rugi kala dirilis, Activision pun berusaha merengkuh Blizzard Entertainment sebagai mitra bisnis. Dengan ini, Activision mendapatkan kesempatan untuk merilis gamenya dalam jaringan Battle.Net milik perusahaan tersebut. Sayangnya, hal ini justru membuat game miliknya enggak bisa dinikmati kalangan banyak dan sang pengembang mematoknya dengna harga yang cukup mahal.

Activision sempat dianggap gagal mengembangkan seri Call of Duty lantaran membandrol harga game dengan sangat mahal dan jarang memerhatikan gamenya. Call of Duty: Black Ops IV misalnya, yang terkenal mengusung tema action shooter dalam balutan battle royale yang dihargai dengan mahal. Belum lagi sistem kelas yang akhirnya bias dibuka dengan mengeluarkan uang menjadi polemik tersendiri.

Untungnya, Activision sempat berbaik hati merilis Call of Duty: Warzone dengan gratis sebagai tambahan dari game Call of Duty: Modern Warfare miliknya. Perusahaan ini pun terlihat punya potensi untuk kembali mengembangkan konten dan mode game baru yang lebih segar.

4. Rockstar Games

Nama Rockstar Games menjadi salah satu perusahaan game yang sangat besar dengan nilai saham dan pendapatan yang sangat tinggi setiap tahunnya. Dengan waralaba seperti Grand Theft Auto, sang pengembang akhirnya berkembang menjadi salah satu raksasa di industri game. Tapi, sayangnya mereka terkenal tangan besi kala mengurusi para karyawan.

Saat mengembangkan Red Dead Redemption 2, maka bahkan mematok jam kerja hingga 100 jam per minggu bagi para karyawannya. Ini dinilai sebagai bentuk disiplin di mana Rockstar berusaha memaksimalkan produksi game miliknya. Sayangnya, hal ini dinilai cukup memberatkan para karyawan da mereka pernah dituntut oleh para pekerjanya sendiri karena upah yang kurang berkeadilan.

5. Konami

Pada 2015 silam, Hideo Kojima meninggalkan perusahaan game yang telah membesarkan namanya. Keputusan berat ini menjadi drama yang sempat mencuat bagi komunitas penggemar game. Pasalnya, Konami terlihat sangat egois untuk tetap melanjutkan seri Metal Gear Solid, yang menurut Kojima seharusnya berakhir pada Metal Gear Solid V: Phantom Pain.

Di luar itu, tekanan juga masuk lantaran penggemar game horor meminta sekuel Silent Hill yang kala itu dikerjakan setengah-setengah oleh Kojima. Keputusan Konami untuk melepas Kojima pun dinilai sebagia lagkah yang sangat buruk. Pasalnya, sang perusahaan terkesan hanya memaksa Kojima untuk embuat game tanpa mengerti alasan dan konsep yang tengah dia kembangkan untuk gamenya. Kira-kira, apakah Konami masih menyesal salah satu sutradara game terbaik ini, ya?