Donald Trump Inginkan Pasukan AS Tetap di Irak untuk Pantau Iran

Presiden Amerka Serikat (AS) Donald Trump siap meluncurkan sanksi paling berat terhadap Iran, Senn, 5 November 2018  (AFP).

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ingin mempertahankan pasukan militer negaranya di Irak, dengan tujuan untuk "mengawasi" Iran.

Trump menyampaikan keinginan tersebut dalam sebuah wawancara pada program televisi Face The Nation, yang disiarkan oleh CBS pada Minggu 3 Februari.

"Meskipun invasi ke Irak adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah dilakukan negara kami", katanya sebagaimana dikutip dari The Guardian.

Ditanya apakah dia ingin menyerang Iran, Trump berkata, "Tidak, karena saya ingin memantau Iran. Yang ingin saya lakukan adalah bosa memantau. Kami memiliki pangkalan militer yang luar biasa dan mahal, yang dibangun di Irak. Ini sangat cocok unutk melihat seluruh bagian Timur Tengah yang bermasalah, dibandingkan berhenti sama sekali."

"Kami akan terus memantau, jika seseorang mencari celah untuk membangun senjata nuklir atau hal-hal lain yang buruk, kami akan mengetahuinya sebelum mereka melakukannya,"tambahnya.

Donald Trump menjawab pertanyaan tentang komitmennya untuk mengurangi kehadian militer AS di Timur Tengah, yang telah menyebabkan kebingungan dan kontroversi mengenai apakah ia akan menarik pasukan dari Suriah dan Afghanistan, dan kapan ia akan benar-benar melakukan itu.

Dia juga berisiko kembali memicu perpecahan yang merusak dengan para kepala intelejennya sendiri, yang mengatakan Iran mematuhi perjanjian nuklir, suatu hal yang berkebalikan dengan apa yang diyakini Trump.



"Saya tidak setuju dengan mereka,"kata Trump, membenarkan posisinya dengan mengacu pada kesalahan yang dibuat mengenai kemampuan militer Saddam Hussein sebelum perang Irak.

"Coba tebak?"Katanya. "Orang-orang intel itu tidak tahu apa yang mereka lakukan, dan mereka membuat kita terikat dalam perang yang seharusnya tidak pernah kita alami. Dan kita telah menghabiskan US$ 7 triliun di Timur Tengah, sementara banyak prajurit kita kehilangan nyawa,"sambungnya.

Tuduhan Trump pada Intelejen AS

Sejak mencalonkan diri sebagai presiden, Donald Trump secara konsisten mengklain selalu menentang perang Irak. Bahkan, pada September 2002 dia memberi tahu pembawa acara radio Howard Stern bahwa dia mendukung intervensi.

Pernyataan Trump kepada CBS datang beberapa hari setelah dia menganggap "orang-orang intelejen"-nya sendiri sebagai pasif dan naif ketika berbicara tentang bahaya Iran:,  dan secara sinis mengatakan bahwa mereka harus "kembali ke sekolah!"

"Saya akan mempercayai intelejen yang saya tempatkan disana," katanyaa kepada CBS, "'tetapi saya akan mengatakan ini: orang-orang intelijen saya, jika mereka mengatakan bahwa Iran adalah taman kanak-kanak yang luar biasa, saya tidak setuju dengan mereka seratus persen. Itu adalah negara yang ganas yang membunuh banyak orang."



Ketidakjelasan Rencana Penarikan Pasukan AS

Pasukan demokrasi Suriah dan militer AS melakukan patroli keamanan di Kota Al-Darbasiyah (AFP/Delil Souleiman)

Perintah Donald Trump untuk menarik 2.000 tentara AS dari Suriah telah menimbulkan kontroversi mengenai apakah, seperti yang ia klaim, militan ISIS telah dikalahkan.

Selain itu, banyak pula yang mengaku khawatir atas kemungkinan pengabaian sekuti Kurdi Amerika, jika Trump benar-benar menarik penuh pasukannya.

Keputusan untuk mempertahankan kehadiran di Irak, Trump mengatakan kepada CBS, akan berarti AS dapat menyerang dengan cepat terhadap ISIS atau al-Qaeda.

"Kami akan kembali jika harus,"katanya. "Kami memiliki pesawat terbang yang sangat cepat, kami memiliki pesawat kargo yang sangat bagus. Kami dapat kembali dengan sangat cepat, dansaya tidak akan pergi. Kami memiliki markas di Irak, dan itu adalah bangunan yang fantastis."

Ditanya kapan militer AS akan mundur dari Suriah, Trump mengatakan dia akan terlebih dahulu memindahkan pasukan ke Irak, dan akhirnya membawa mereka pulang.

"Kita harus melindungi Israel," katanya "Kita harus melindungi hal-hal lain yang kita miliki. Lihat, kami melindungi dunia. Kami menghabiskan lebih banyak uang daripada yang pernah dihabiskan orang dalam sejarah."

Donald trump juga mengklaim AS telah menghabiskan US$ 50 miliar (setara RP 697 triliun) setahun di Afghanistan selama limat tahun, dan mengatakan dia siap untuk mempertahankan kehadiran intelejen di sana.

Pasukan AS memimpin invasi ke Afghanistan pada Oktober 2001, sekitar 17 tahun yang lalu.

Ditanya tentang kemajuan yang dilaporkan dalam pembicaraan dengan Taliban, Trump mengatakan dia akan "melihat apa yang terjadi, mereka menginginkan perdamaian. Mereka lelah. Semua orang lelah. Kami ingin - saya tidak suka perang tanpa akhir. Perag ini. Apa yang kita lakukan harus berhenti pada titik tertentu."