(REVIEW) The Kid Who Would Be King (2019)

film the kid who would be king

Film keluarga yang pesannya dikhususkan untuk anak-anak kembali hadir menyapa di bioskop. FIlm The Kid Who Would Be King hadir sebagai tayangan menghibur dan penuh petualangan. Lalu, apa yang membedakan film petualangan anak ini dengan film lainnya?





Menceritakan Alex, bocah yang jatuh di alam sebuah bangunan yang sedang direkonstruksi dan menemukan sebilah pedang yang tertancap di batu. Penasaran, Alex kemudian berusaha mencari tahu pedang tersebut. Bersama sahabatnya, Bedders, mereka berusaha  mencari makna dari kata-kata yang terukir pada bagian-bagian pedang tersebut. Keduanya enggak  percaya bahwa pedang tersebut milik mendiang King Arthur, Raja yang pernah menyatukan kerajaan-kerajaan dari Inggris.

Aplagi, Alex dan Bedders harus bertemu dengan Merlin, sang penyihir legendaris. Mereka harus menghadapi Morgana yang bangkit dari neraka dan mengancam kehancuran dunia. Bisakah Alex menyelamatkan semua permasalahan ini?


Petualangan Klise yang Cukup Menyenangkan

Digarap oleh Joe Cornish, film ini paling enggak seperti sebuah keseimbangann antara horror, komedi, dan komentar sosial anak-anak untuk bertahan hidup di kerasnya dunia anak-anak. Bagaimana pergulatan anak-anak dengan lingkungan sosialnya, memengaruhi cara mereka bertindak.

Film The Kid Who Would Be King memiliki cerita petualangan yang mirip dengan film lainnya. Mulain dari misi, konflik, dan imajinasi yang enggak masuk akal harus cocok tayang di televisi tiap udah habis stok layar lebarnya di bioskop seluruh dunia, film ini cocok tayang di televisi tiap liburan untuk anak-anak.

film the kid who would be king

Dunia fantasi yang dibangun Cornish cukup menyenangkan. Sayangnya, plot cerita makin lama makin serius dan terasa membosankan. Penonton udah nungguin aksi yang ditonjolkan heroik dalam cuplikannya. Namun, aksi tersebut hadir di sepertiga film terakhir.

Untungnya, aksi tersebut bisa mengembalikan mood penonton yangudah bosan di awal. Bukan cerita yang buruk, hanya saja, ada beberapa plit yang terlalu lama diceritakan. Sampai-sampai, film The Kid Who Would Be King isinya penuh drama.


Fokus Pada Kekuatan Karakter

Kekuatan cerita udah dibangun sukses disampaikan oleh para pemain. Meski masih anak-anak, para pemain bisa memberikan makna dari karakternya. Penonton bisa merepresentasikan karakter tersebut dalam kehidupan sehari-sehari.
Seperti Alex yang diperankan oleh Louis Ashbourne Serkis, menyiratkan manusia yang bikjak, selalu beruntung, mau berkorban, dan memprioritaskan hubungan, Bedders yang diperankan Dean Chaumoo sebagai represntasi karakter pengikut, mau belajar, tapi mudah terpengaruh. Kemudian, Lance yang diperankan Tom Taylor, sosok ambisius tapi penakut, Serta, Rhianna Dorris sebagai Kaye, sosok cerdas, tapi mudah terpengaruh.

Kehadiran bintang senior seperti Patrick Stewart sebagai Merlin tua dan Rebecca Ferguson seagai villain bernama Morgana, bikin film terlihat kaya. KEduanya bukan nama baru di Hollywood. Hebatnya, kehadiran para bintang senior dan anak-anak pendatang baru saling melengkapi film The Kid Who Would Be King.


Visual dan Suara yang Ramah

Nonton film The Would Be King berasa lagi nonton Harry Potter saga. Soalnya, isinya "British" abis. Mulai dari sutradara, cerita, hingga pemerannya dari Inggris. Tentunya aksen "British" yang kalian dengar sepanjang film terkesan elegan.

Soal visual, film ini tetap ada CGI, mengingat, plot fantasinya terasa kental meski berlatar kehidupan nyata. Penggambaran latar Inggris  dan panoramanya benar-benar nyata, sehingga kalian kadang berpikit, "ini Inggris di masa kini atau imajinasi?" Sedangkan, efek suara  yang ditampilkan masih ramah untuk diperdengarkan anak-anak.


Ketika Sejarah Dikemas Gaya Masa Kini

Seperti dalam film Attack the Block (2011) yang juga garapan Cornish, sams-sama menemukan keistimewaan legenda Arthurian. Seperti ketika adegan waktu berhentidan sema orang hilang/ Lalu, monster muncul dan ada sihir dari Merlin. Sayangnya, momen seru seperti itu mudah ditebak. Apalagi buat kalian yang nonton karena nemenin adik atau anak-anak nonton dijamin bakal bosan.

Nilai lebihnya, ketika cerita yang ditampilkan terlalu detail, film The Kid Who Would Be King justru punya makna yang banyak dan dalam. Seperti tentang persahabatan: msuuh bukan untuk dilawan, tapi jadi kawan. Lalu, tentang  kejujuran yang penting diterapkan dari sedini mungkin.


Film ini cocok buat di tonton bareng keluarga. Kalian enggak perlu berikan ekspektasi tinggi terhadap film The Kid Who Would Be King. Soalnya, ceritanya mirip dengan petualangan seperti Zathura: A Space Adventure (2005), Hugo (2011), atau Jumanji (1995). Namun, plot film ini lebih kuat dan cocoknya ada ditelevisi, diselingi iklan, untuk mengatasi kebosanan.

Film ini udah tayang mulai 23 Januari 2019 di bioskop seluruh Indonesia. Kalau udah nonton, balik lagi ke artikel ini untuk kasih pendapat kalian soal film The Kid Who Would Be King, ya!