Inilah Alasan Mengapa Garam dan Lada Selalu Tersedia di Meja Restoran

Ilustrasi garam dan lada (Pixabay)

Garam dan lada adalah duet bumbu andalan diseluruh dunia, terutama di meja makan restoran. Keberadaannya selalu berhasil menjadi penyelamat tatkala makanan yangdisantap "kurang berkarakter'' dilidah.

Namun, pernahkan Anda bertanya mengapa garam dan lada seakan tidak bisa dipisahkan diatas meja makan?

Dikutip dari Gizmodo.com, garam santap --juga biasa disebut garam meja-- adalah bumbu pilihan sejak berabad-abad lalu. Senyawa bernama ilmiah natrium klorida (NaCI) ini dibutuhkan oleh tubuh manusia sebanyak 3 hingga 8 garam, untuk melakukan berbagai fungsi metabolisme.

Selain itu, asin pada garam juga merupakan salah satu dari empat jenis cita rasa utama yang dideteksi oleh lidah manusia, dimana sekaligus berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan.

Karena kita membutuhkan garam untuk bertahan hidup, makan bumbu bisa telah menjadi komoditas yang bernilai tinggi sepanjang sejarah.

Garam telah membantu membangun peradaban awal, mendorong munculnya kerajaan, dan bahkan telah digunakan sebagai mata uang. Sebagai contoh, tentara Romawi pernah diupah dengan garam.

Sebelum ''berkolaborasi'' dengan lada, pada awalnya garam kerap dipadukan bersama gula dalam banyak tradisi masyarakan Eropa, mulai dari era Romawi Kuno hingga zaman Ranaisans.

Baru pada Abad ke-17, di Prancis, garam dan gula dipisahkan. Para juru masak kerajaan untuk Louis XIV mulai menyajikan hidangan asin sepanjnag waktu bersantap, untuk merangsang nafsu makan.

Mereka hanya menyajikan makanan manis pada sesi akhir untuk memuaskan nafsu makan, atau dengan kata lain, menandakan akhir santapan tersebut.


Pengganti Lada Panjang

Sementara itu, meski tidak dibutuhkan secara universal seperti garam, namun lada adalah komoditas yang sama bernilainya dalam tradisi kuliner modern.

Bahkan, dalam sejarah, lada --khususnya lada hitam-- telah menjadi rebutan bagi banyak masyarakat Barat yang berpetualang ke Asia, dan turut mengubah sejarah dunia yang berkaitan dengan perdagangan rempahh global.

Lada adalah tanaman asli Asia Tenggara, dimana utamanya ditemukan tumbuh subur di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Pantai Malabar di India. Di seluruh wilayah tersebut, menurut hasil penelitian oleh Departemen Sejarah pada Leiden University, rempah yang identik dengan hentakan pedas  ini telah dimanfaatkan secara lokal sejak Abad ke-2 Sebelum Masehi.

Seperti rempah-rempah kuat lainya, lada secara historis digunakan sebagai bumbu dan obat untuk mengobati berbagai penyakit mulai dari sembelit, hernia, hingga gangguan jantung.

Sebelumnya, masyarakat Romawi Kuno memanfaatkannya sebagai rempah andalan dalam tradisi kuliner dan penobatan kelas atas kala itu. Sifatnya yang lebih panas (di akui oleh medis modern) diyakini mampu meningkatkan kejantanan, sehingga populer di kalangan atas setempat.

Namun, karena termasuk langka akibat dari cara bertanamnya yang sulit, kenaikan harga menjadi tidak terkendali. Di saat bersamaan, muncul jenis rempah hampir serupa yang lebih murah dari Timur Jauh berjuluk lada hitam.


Berjaya di Romawi Kuno

Selama beberapa ratus tahun berikutnya, popularitas lada hitam meroket — sedemikian rupa sehingga ketika Alaric, raja tangguh dari Visigoth, menyabotase Roma pada Abad ke-5, ia menuntut 3.000 pon lada hitam sebagai bagian dari tebusannya.

Bertahun-tahun setelahnya, lada hitam bahkan digunakan sebagai bentk mata uang dalam beberapa kasus, seperti garam sebelumnya.

Setelah Kekaisaran Romawi jatuh, Persia (dan kemudian kekuatan Arab) mengambil kendali rute ekspor rempah-rempah dari India ke Mediterania, sementara kekuatan Italia memonopoli perdagangan terkait di Eropa.

Ini mengarah langsung pada kebangkitan banyak negara-kota Italia, dan memainkan peran penting dalam kemunculan Renaisans, yakni berkat pendapatan besar yang diperoleh dari perdagangan menguntungkan, yang juga termasuk kayu manis, cengkeh, pala, dan jahe.

Perlu diingat, selama Abad Pertengahan, rempah-rempah adalah barang ultra-mewah yang hanya dibeli oleh orang kaya, yang bersedia menghabiskan banyak uang untuk menghidupkan makanan mereka.

Terlebih lagi, monopoli rempah-rempah di Eropa --baik pasar yang didominasi Italia atau rute perdagangan darat yang dikontrol Muslim-- membuat Portugal tertarik untuk menemukan rute laut ke Timur Jauh, yang mengarah pada penemuan benua Amerika.

dengan negara-negara yang bersedia mengeluarkan upaya semacam keras dan biaya besar untuk rempah-rempah, tidak heran lada hitam sering disebut sebagai Emas Hitam.

Populer Sejak Era Raja Louis XIV

Popularitas lada hitam sedikit menurun di awal Abad ke-17, menyusul penemuan cabai Di Dunia Baru  dan peningkatan pola makan Eropa yang tidak lagi bubur.

Tapi, pamor lada hitam kembali bangkit setelah era Renaisans. Koki untuk Raja Louis XIV di Prancis adalah sosok yang menempatkan lada hitam pada status saat ini.

Raja Louis XIV adalah sosok yang terkenal pemilih dalam halam makanan yang disantapnya. Dia lebih suka makanannya yang sedikit dibumbui, dimana mencampurkan bumbu yang kuat adalah tabu di era kekuasaannya.

Bahkan, ia melarang langsung penggunaan semua rempah dari Timur Jauh selain garam, merica, dan paterseli, karena dianggap lebih sehat dan indah daripada kalupaga pada sajian kari. Selain itu, hentakan pedas yang ringan pada lada hitam juga dianggap cukup untuk hidangan sang raja, tanpa mempengaruhi terlalu jauh rasa aslinya.

Oleh koki Raja Louis, lada hitam kemudian disandingkan bersama dengan garam, dan ternyata disukai oleh banyak kalangan atas kerajaan. Dari meja ekslusif istana, lambat laun ''kombinasi serasi'' ini menyebar hingga seluruh Eropa dan Amerika Utara.

Hingga 2018 saja, masyarakat Amerika Serikat diketahui mengonsumsi lebih dari 6,5 juta ton garam meja dan sekitar 27.000 ton lada hitam setiap tahunnya.

Menariknya, meski banyak diproduksi di Asia, namun masyarakat di kawasan ini cukup jarang memanfaatkan lada hitam sebagai bumbu. Mereka lebih senang dengan kecap, saus tiram, sambal, dan lain sebagainya.