(REVIEW) The Lion King (2019)

review lion king indonesia

Sutradara Jon Favreau dan timnya telah memberikan "darah dan air mata" utnuk meramu keajaiban visual dari live-action film The Lion King. Apalagi, lebih 180 animator menghidupkan sekitar 86 spesie hewan untuk menciptakan kembali penghuni Pride Lands dan sekitarnya.


Menceritakan kisah di padang rumput Afrika, ketika calon raja dilahirkan, Simba. Dia mengagumi sosok ayahnya, Mufasa, dan siap memenuhi takdirnya sebagai pewaris takhta kerajaan.

Sayangnya, enggak semua orang menyambut kehadiran Simba dengan baik, salah satunya Scar, paman Simba. Scar memiliki rencana licik untuk menguasai Pride Lands, hingga Simba akhirnya diasingkan. Berhasilkah Simba merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?



Bukan Dokumenter Alam



Harus diakui, remake film The Lion King menjadi bukti bahwa enggak semua film bisa lebih memuaskan dibandingkan versi aslinya.

Soal cerita, enggak berbeda dari versi aslinya. Masih mengisahkan Pride Lands dengan polemik kekuasaan di dalamnya. Bahkan, buat penonton dewasa yang udah tahu ceritanya, rasanya enggak perlu berharap ada twist mengejutkan.

review the lion king

Sementara, bisa jadi punya pesan yang kuat jika film ini bertujuan untuk dikenalkan kepada anak-anak tentang rasa tanggung jawab, dan keberanian.

Konflik yang digambarkan juga sederhana, begitu juga dengan komedi yang disuguhkan karakter Pumba dan Timon. Enggak  ada yang istimewa, pun enggak ada yang memorable, kecuali "Hakuna Matata".

Sekilas kita akan dibuat kagum, meski butuh beberapa waktu untuk meyakinkan otak bahwa kita sebenarnya enggak melihat singa, jerapah, zebra, dan burung enggak sungguhan. Sedikit kesulitan membuat kita bernostalgia untuk menyeret ingatan ke versi animasi.



Realisme yang Mengorbankan Perasaan


Salah satu daya tarik film Disney ini terletak pada animasi komputer yang mengesankan sejak cuplikannya dirilis. Mulai dari kerutan di kulit gajah, retakan tanah, hingga rumput dengan ketepatan detailnya.

Kalian juga bisa melihat otot-otot bergerak ketika singa berlari dan melihat bagaimana cahaya matahari menyinari tanah dan pepohonan. Semua berkat karya sinematografer terkenal, caleb Deschanel yang juga terlibat dalam The Passion of the Christ (2004).

lion king

Sayangya, saking nyata, menghilangkan karisma dan jiwa para karakternya. Sulit untuk membedakan antarhewan dari spesies yang sama. Seperti, hampir mustahil untuk membedakan Nala, Sarabi, dengan singa betina lainnya, kecuali mereka berbicara.

Ekspresi yang ditamplkan para hewan juga enggak ngena. Lagi-lagi sulit membedakan emosi para karakter lewat mimik dan ekspresi, kecuali mereka mengaum atau menggeram. Sehingga, dialog haru, enggak berasa pilinya.

lion king

Untungnya, musik dari Hans Zimmer bisa menetralkan patah hati, meski enggak signifikan. Begitu juga dengan efek suara yang bakal bikin kaget berkali-kali. Namun yang pasti keseluruhan narasi enggak bisa menyamai keagungan musik Zimmer, sekalipun dengan visual yang dianggap megah tersebut.



Pengisi Suara Bertabur Bintang


Selain visual, daya tarik film The Lion King—yang hasilnya biasa saja— ada pada deretan pengisi suaranya. Para pengisi suara bertabur bintang ini seperti ditarik ke sebuah dokumenter National Geographic. Sayang, mereka muncul dengan minim karisma ketika dibandingkan dengan versi animasinya.

Dibalik kekurangan visual dan rasa, para bintang telah memberikan yang terbaik. Seperti JD McCrary sebagai Simba kecil dan Shahad Wright Joseph sebagai Nala kecil. Lalu, diteruskan oleh Donald Glover sebagai Simba dewasa dan Beyonce Knowles-Carter sebagai Nala dewasa.

review lion king indonesia

Film The Lion King yang kehilangan magisnya ini untungnya masih bisa bikin ketawa dengan aksi Pumbaa dan Timon yang disuarakan oleh Seth Rogen dan Billy Eicher. Ditambah, Zazu (John Oliver), ketiganya menghibur enggak hanya di dialog, tapi juga perilaku dasar hewani.

Penampilan Scar (Chiwetel Ejiofor) dengan Shenzi (Florence Kasumba), serta para hiena berhasil memberikan perbedaan mana kejahatan dan kebaikan. Bahkan, untuk ukuran film "Seumur Umur", penampilan mereka gelap, suram, dan jahat.



Lalu, untuk Siapakah Film The Lion King?


Agak buasa jawabannya. Jika film The Lion King untuk memperkenalkan ke generasi baru alias anak-anak, itu bagus, meski cukup suram. Akan tetapi, jika film ini untuk merebut kembali hati dan nostalgia penonton dewasa yang tumbuh dengan The Lion King, bisa jadi meleset dari sasaran.

Meskipun sama sekali bukan "bencana" atau film yang buruk, The Lion King akan lebih baik mencoba menjadi diri sendiri. Enggak perlu muluk-muluk menjadikan realistis, cukup bentuknya animasi, dengan melakukan sesuatu yang berbeda dalam hal cerita dan karakter, seperti Disney kepada Frozen 2 (2019).

lion king

Harus diakui, meski enggak memuaskan rasa nostalgia penggemar, film The Lion King pasti menduduki takhta Box Office akhir pekan.

Film ini bisa kalian jadikan alasan family time di bioskop, atau nge-date bareng gebetan, Enggak ada batasan usia karena klasifikasinya "Semua Umur", tapi bukan berarti kalian bebas bawa bayu, ya, mengingat suara auman singa bisa bikin trauma.