(REVIEW) Spider-Man: Far from Home (2019)

review far from home

Spider-Man: From from Home menjadi kolaborasi Marvel Studios dan Sony Pictures yang menyegarkan. Sesuai dengan judulnya, kalian akan di suguhkan kiash liburan Peter Parker setelah peristiwa "blip" alias Decimation oleh Thanos.


Ketika dunia kembali normal setelah peristiwa di Endgame, Peter Parker kembali ke sekolah dan akan melakukan liburan musim panas bersama teman-teman sekelasnya. Misinya hanya ingin mengungkapkan perasaannya kepada MJ.

Sayangnya, dimana pun dia pergi, monster-monster selalu mengikutinya dan membahayakan orang-orang terdekatnya. Dibantu oleh Mysterio, Peter pun percaya Mysterio bisa gantikan Avengers di dunia.



Menyenangkan dari Awal sampai Akhir



Kembali digarap oleh Jon Watts setelah Spider-Man: Homecoming (2017), kalian disuguhkan kisah menyenangkan ala drama remaja dalam balutan nuansa superhero. Bukan kisah yang berat, terlebih, jika kalian udah bisa nebak alur karena baca komiknya.

Berangkat dari sebuah skrip yangditulis kembali oleh Chris McKenna dan Erik Sommers, Wats dan timnya dengan riang mengeksplorasi apa yang terjadi lima tahun setelah jentikan jari Thanos dengan riang mengekslorasi apa yang terjadi lima tahun setelah jentikan jari Thanos yang menentukan dan bagaimana dunia membentuk kembali dengan cara-cara duniawi.

review far from home

Film blockbuster ini bisa dibilang bikin Watss dalam posisi sulit dalam mengarahkan film. Soalnya, engak hanya menempatkan Spider-Man di tempat penting MCU setelah jentikan jari Thanos, tapi juga soal kisah personal Peter Parker.

Tawa terus menghiasi bioskop di seperempat film pertama. Hal yang bikin kalian berharap film ini adalah komedi romantis. Gagasan konyol Peter tentang liburan di Venesia dan Paris dan curi-curi pandang ke MJ jadi hal fantasi remaja cowok yang bikin kalian tersipu.

review far from home

Film Spider-Man: Far from Home berikan pemandangan baru, meski enggak bisa menyamai kesuksesan yang terinspirasi dari pendahulunya dan masih merujuk referensi komik. 

Sisi emosionalnya juga lebih natural dan lebih otentik mewakili cinlok, kelabilan, dan gairah para remaja meski sering kalah oleh kenaifan dan kurangnya pengalaman mereka.

far from home

Adegan aksinya pun lebih maksimal dibandingkan dengan film pertamanya. Aksi yang berskala monster tampil menakjubkan, tapi tetap membuat karakter utama enggak kehilangan pamornya.

Mirip film petualangan yang mempertahankan tingkat fokus yang presisi terhadap detail dalam tiap ketukan aksi. Sehingga, penonton enggak kehilangan mood dan terus menatap layar sampai film selsai.


Kedalaman Karakter yang Belum Pernah Kalian Lihat


Tom Holland dengan mudah jadi aktor terbaik untuk memrankan Peter Parker. Meskipun dia berusia 20 tahunan, Holland masih menarik jadi anak sekolahan. Holland bisa menggambarkan Peter Parker yang makin dewasa, jadi pendiam, lalu buat kesalahan besar, tapi harus penuhi tanggung jawabnya sebagai Avengers dan pelajar.

Zendaya mendapat banyak momen dan interaksi karakter yang luar biasa. Dia juga mendapatkan beberapa dialog terbak dalam pengungkapan cerita, hingga ada chemistry nyata antara Zendaya dan Holland.

far from home

Jake Gyllenhaal sebagai Mysterio jadi villain yang patut diperthitungkan di Sony's Universe of Marvel Characters. Kalau enggak terbantu dengan desain produksi dan CGI maksimal, tampaknya dia akan jadi villain yang mudah terlupakan. Namun, Gyllenhaal memberikan Mysterio kombinasi karisma tersebut.

Angourie Rice sebagai Betty dan Jacob Batalon sebagai Ned sukses jadi scene stealer. Begitu juga dengan Jon Favreau sebagai Happy Horgan dan Marisa Tomei sebagai Bibi May. Peran mereka diperluas enggak hanya jadi teman sekolah Peter, tapi jadi bahan tertawaan kalian karena romansa ababilnya.


Tumpukan Ilusi dalam CGI dan Scoring


Sebenarnya, Spider-Man: Far from Home juga harus berfungsi sebagai ekstravaganza aksi, meski lebih baik dari film pertamanya. Sayangnya, hanya sebatas bagus, bukan luar biasa.

Secara visual, film ini melampaui Homecoming dalam skala, realisme, dan scoring, terlepas dari VFX, ya. Warna cerah seperti nuansa remaja, mengingatkan kita pada kesetiaan sumber buku komik.

far from home

Satu masalah dengan superhero blockbuster adalah adegan pertarungan klimaksnya cenderung menggantikan pemain fisik dan lokasiaktual dengan CGI, sehinga menjauhkan penonton dari aksi nyata.

Namun, dalam Spider-Man: Far from Home, kita berulang kali diingatka bahwa adegan-adegan tersebut palsu. Bahkan yang bikin terpukau, pas kalian sadar bahwa semuanya bagaikan tumpukan ilusi dari kru maupun dari alur cerita yang semuanya dimasak di komputer.


Tonton Kedua Kali Enggak Rugi


Nah, saking menyenangkannya, film Spider-Man: Far from Home layak untuk dinonton berkali-kali. Hanya untuk membiarkan kalian menemukan detail-detail keren di set-piece CGI dari komik atau film terdahulunya.

Hanya saja, bagi kalian yang mengharapkan film Spider-ManL Far from Home sebagaimana sebenar-benarnya film manusia laba-laba, tampaknya bakal kecewa.

review far from home

sebaliknya, jika kalian menaruh standar film ini layaknya film solo superhero lain, kalian akan setuju bahwa film penutup fase 3 ini enggak mengecewakan.

Wajar jika selera film penutup fase 3 ini enggak mengecewakan.

wajar jika selera film superhero kita makin tinggi, karena kita udah disuntik film superhero yang menggelar, lalu pas nonton film Spider-Man: Far from Home rasanya nanggung.

Filmdengan klasifikasi "Semua Umur" ini bisa kalian tonton pas banget di musim liburan. Film Spider-Man: Far from Home udah tayang sejak 3 Juli.