(REVIEW) Maleficent: Mistress of Evil (2019)



Sosok Maleficent awalnya dikenal sebagai penyihir yang jahat dan buruk rupa. Namun, Disney berhasil mengubah image Maleficent menjadi seseorang yang bangkit dari tragedi dan pengkhianatan untuk membentuk ikatan yang kompleks dengan Putri Aurora.

Disutradarai oleh Joachim Rønning (Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales), sekuel yang tayang mulai 16 Oktober ini melanjutkan  cerita dari film pertamanya, mempertemukan Maleficent dengan musuh barunya yang licik.


Diawali oleh rencana pernikahan Aurora dan Pangeran Philip, Maleficent ragu untuk merestuinya karena kebenciannya pada manusia lainnya selain anak angkatnya. Sementara itu, Ratu Inggrith, ibunya Philip, pun menaruh misteri dan kebencian tersendiri kepada Maleficent. Yuk, simak ulasannya dibawah ini.


Battle Royale Versi Disney

Harus diakui, film Maleficent bisa dibilang bukan proyek "A Team" Disney. Buktinya, kita bisa lihat  dari seberapa besar promosi yang menggaung di dunia nyata maupun maya.

Meski begitu, sekuel dari film yang pertama kali rilis pada 2014 ini punya cerita yang patut diperhitungkan alias bukan digarap seadanya. Bahkan, jika dibandingkan dengan film pertamanya, premis dan alur Maleficent: Mistress of Evil ini lebih kompleks dan menantang.


Hal tersebut sebenarnya udah bisa terlihat di trailer. Makanya, cukup bias awalnya jika film keluaran Disney ini memiliki klasifikasi "Semua Umur", meski memang sudah seharusnya.

Soalnya, film yang kembali menampilkan Angelina Jolie ke layar lebar setelah Kung Fu Panda 3 (2016) ini menampilkan konsep battle royale untuk mempertahankan cinta dan kekuasaan. Entah, apakah ceritanya bisa dimengerti oleh anak-anak berusia di bawah lima tahun.


Sejak awal, kegelapan menyelimuti film ini ditambah dengan plot penjahat yang melibatkan genosida melalui perang biologis. Untungnya, Rønning mencairkannya dengan dialog humor situasional dan pertempuran klimaks di siang hari.

Tampaknya dengan kondisi tersebut, Disney lebih mempertahankan penonton remaja dan dewasa yang bisa mengambil keseluruhan pesan. Namun, bukan berarti penonton anak-anak sulit mencerna, lho!


Urutan adegan dalam Maleficent: Mistress of Evil ini besar dan luas. Berbedajauh dengan film pertama yang, sekuel ini mirip seperti turunan Game of Thrones dalam versi kecil. Adegan pertempuran pun bersifat dinamis dan hidup. Sayangnya, emosio.

Banyak hal yang terjadi dalam plot film ini. Rønning bersama dengan para penulis Linda Woolverton, Noah Harpster, dan Micah Fitzerman-Blue menyelipkan unsur emosional: hubungan Maleficent dan Aurora. Sayangnya, mesi efektif dan menyenangkan, cenderung mudah dilupakan.


Karakter yang Lebih "Dewasa"

Sejak awal Angeline Jolie dipilih sebagai Maleficent, enggak sedikit yang beranggapan bahwa aktris Amerika ini terlalu cantik menjadi penyihir jahat. Ya, pilihan Disney enggak salah karena kehadirannya cukup menyingkirkan imajinasi mimpi buruk anak-anak terhadap sosok penyihir jahat.

Bahkan, dengan pipi yang tajam, perubahan kostum yang luar biasa, Jolie berhasil membawa  Maleficent untuk melakukan perjalanan emosinya, berkenalan dengan kaumnya, dan belajar soal kepercayaan. Siap-siap, ada momen yang bikin kalian terpesona dan salah fokus penampilan Angelina Jolie!


Meski Elle Fanning mendapat porsi yang sama dengan Jolie, pesona dan emosinya kurang menyaingi Maleficent. Emosi dan ekspresinya pun standar seperti yang dilakukan princess Disney lainnya.

Sebagian besar filmnya berhasil karena Michelle Pleiffer sebagai Ratu Inggrith. Tampil sebagai lawan dari Maleficent, kesombongan yang ditampilkan Pfeiffer bikin penonton beranggapan bahwa dia adalah senyata-nyatanya penyihir.

Pangeran Philip yang diperankan oleh Harris Dickinson cenderung membosankan. Ya, memang dalam materi sumber pun dirinya hanya berperan sebatas itu. Sebelumnya, Philip diperankan oleh Brenton Thwaites, tapi karena sibuk dalam Titans Season 2, digantikan oleh Dickinson yang tampila bingung dan datar.


Namun, hal tersebut juga merupakan pertanda bahwa Philip bukanlah karakter utama dan dia enggak harus di pahlawan untuk menyelamatkan sang putri.

Kemudian ada Chiwetel Ejiofor yang tampil sebagai peran pendukung yang relatif kecil. Menit tampilnya pun lebih sedikit dari Ed Skrein sebagai Borra yang menampilkan sosok ambisius dan pejuang.


Visual dan Scoring yang Gelap

Visual film-film Disney udah enggak diragukan lagi. visual yang memikat tapi gelap ini benar-benar menampilkan sebuah film petualangan fantasi. Banyak karakter yang memang tampak enggak wajar, seperti peri Knotgrass (Imelda Staunton), Thistlewit (Juno Temple) dan Flittle (Lesley Manville) yang kembali dari film pertama.

Film Maleficent: Mistress of Evil memiliki tim desain yang berbeda dari film pertama. Makanya, banyak sesuatu yang baru, seperti kostum Maleficent yang seksi dan elegan.

Lalu, Patrick Tatopolous sebagai desainer produksi telah menciptakan lingkungan fantasi yang indah. Terutama, tempat perlindungan Suku Fay yang tersembunyi. Sementara, soal scoring, film ini hanya menampilkan "taring horor'' di awal film.


Bukan yang Terbaik, tapi Tetap Memikat

Maleficent: Mitress of Evil menampilkan perpaduan antara fantasi dan drama. Enggak sedikit adegan memesona yang mungkin enggak sempurna tetapi cukup memikat hati para penonton muda. Ending film yang sendu bakal ngena ke hati penonton, terutama yang suka kisah dongeng.

Meski alurnya mudah diprediksi, tapi film ini enggak gagal menggambabrkan apa yang dapat dilakukan seorang ibu utnuk anaknya. Perbedaan yang menonjol dibandingkan dengan film-film Disney lainnya yang menampilkan konflik ayah dan anak.

Film Maleficent: Mistress of Evil bisa jadi pilihan nonton bersama keluarga di akhir pekan. Tayang mulai 16 Oktober 2019, film ini siap jadi tontonan menjelang Halloween.