HEADLINE: Simbol Tauhid Atau HTI? Pembakaran Bendera Jangan Picu Perpecahan




Senin pagi 21 Oktober 2018, ribuan santri memadati Alun-Alun Limbangan, Garut, Jawa Barat. Seperti di daerah lain, peringatan ke-4 Hari Santri Nasional ini berlangsung meriah. Sayang, kemeriahan itu diwarnai insiden yang menuai polemik di masyarakat.

Dalam rekaman video yang beredar, terlihat sejumlah oknum anggota Banser membakar bendera berlatar hitam dengan Iafaz tauhid, yang identik milik Hizbut Tahirir Indonesia (HTI). Tak hanya itu, ikat kepala dengan tulisan serupa juga bernasib sama. Hangus menjadi abu.


Peristiwa itu pun menuai kontroversi. Masyarakat yang menyaksikan kejadian itu lewat video viral langsung bereaksi. Mereka melakukan aksi turun ke jalan menuntut kepolisian memproses pelakunya.

Menanggapi kejadian ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa prihatin dan menyesalkan kejadian yang menimbulkan kegaduhan di kalangan umat Islam. MUI meminta pihak yang telah melakukan tindakan itu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya secara terbuka.

Selain itu, MUI juga menilai tindakan itu dilakukan secara spontan. Ini lantaran mereka yang menjadi pelaku masih berdarah muda.

"Namanya juga angkatan muda tidak terlalu panjang pemikirannya, apalagi pakai baju seragam, semi-militer, kelihatan gagah, hebat, lupa mikir, enggak mikir panjang," ujar Wakil Ketua Umum MUI Yunahar Ilyas kepada Liputan6.com, Rabu (24/10/2018).

Dia menjelaskan, secara psikologi massa, kondisi itu memang berbeda jika pelaku melakukannya secara sendirian. Sebab pelaku akan berpikir ulang untuk melakukan pembakaran bendera itu.

"Kalau kerumunan itu, biasanya orang tidak bisa berpikir cermat. Jadi panitia harus betul-betul mengawasi, dijaga,dibriefing, karena namanya kerumunan, psikologi massa itu sering terjadi hal-hal yang tak terduga," jelas dia.

Yunahar berharap, peristiwa ini dapat menjadi pelajaran semua pihak. Agar kejadian serupa tak kembali terulang, MUI meminta ada sanksi tegas bagi pelakunya.

"Makanya kami mendorong ada proses hukum. Sekarangkan sudah ada sanksi moral dari masyarakat, yang kedua ada sanksi hukum yang sedang diproses oleh kepolisian, yang ketiga ada pembinaan dari imduk organisaasinya terutama untuk angkatan muda, untuk laskar-laskar yang pakai seragam itu," ujar dia.




"Kalau terjadi lagi, tidak bisa kita kembali mencegahnya. Yang penting menyelesaikan yang sekarang dulu aja," imbuh para pria kelahiran 62 tahun lalu itu.

Sementara itu, akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai, masyarakat tak perlu bereaksi berlebihan atas kasus pembakaran bendera itu. Jika ada yang merasa dirugikan atas aksi oknum Banser, cukup melaporkannya kepada polisi agar diprosses secara hukum.

"Setelah itu, sudahi saja polemik dan kekisruhan pembakaran itu. Toh pelakunya sudah minta maaf dan kasusnya sedang diusut. Meski begitu, oknum Banser itu tak seharusnya membakar bendera, cukup didamaikan saja. Tak usah bertindak provokatif seakan menantang umat Islam. Jika pun itu bendera HTI, laporkan saja ke polisi," jelas ia kepada Liputan6.com, Rabu (24/10/2018).




Dia mengungkapkan, memang agak sulit membedakan antara bendera HTI dengan kalimat tauhid murni. Mesti ada institusi khusus yang bisa menjelaskan itu, setidaknya menurut pihak keamanan, Banser tak bisa main hakim sendiri dengan mengklaim itu bendera HTI tanpa bukti valid dari ahli.

"Sebab banyak masyarakat di bawah yang punya bendera bertuliskan tauhid. Bukan hanya berupa bendera tapi stiker-stiker yang ditempel di rumah warga juga banyak. Semangat tangkal HTI oleh, tapi dengan cara yang sesuai etik demokrasi," jelas dia.

Untuk menangkal kejadian itu kembali terjadi, dia meminta masyarakat agar tidak main hakim sendiri. Selain itu, aparat juga harus tegas bagi pelaku untuk memberikan efek jera.

"Kita tak usah mengambil alih peran negara dan polisi. Laporan saja jika ada tindakan yang extraordinary semacam HTI itu," ujar dia.



Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, bendera yang dibakar oknum Banser tersebut merupakan bendera HTI. Atribut itu kerap digunakan HTI dalam setiap kegiatan.

Bahkan dalam persidangan Perppu Ormas, HTI sebagai pemohon juga menunjukan bendera yang sama dengan yang dibakar saat perayaan Hari Santri Nasional di Limbangan, Garut.

"Bendera tauhid tidak hanya hitam, ada hijau," kata Yaqut di Markas GP Ansor, Jakarta Pusat, Rabu (24/10/2018).

Namun, insiden yang terjadi di Garut itu terlanjur manuai reaksi negatif dari masyarakat. Bahkan sempat menimbulkan kegaduhan. Para pejabat negara pun angkat bicara. Yaqut mengatakan, pihaknya meminta maaf atas reaksi yang ditimbulkan dari kejadian ini, namun bukan untuk peristiwa pembakaran.

"Kami meminta maaf atas kegaduhan, bukan pada pembakaran bendera itu," kata Yaqut.

Di tempat yang sama, Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat GP Ansor, Abdul Rochman menguatkan persyatan Yaqut yang menegaskan soal status bendera yang dibakar tersebut.

"Kami menolak tegas bedera HTI diidentikkan bendera Tauhid milik umat Islam," kata Rochman.




HTI merupakan organisasi yang kegiatannya sudah dilarang di Indonesia. Kementrian Hukum dan HAM telah mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahir Indonesia (HTI) sejak 19 Agustus 2017 lalu.

Pencabutan badan hukum sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Namun dalam praktiknya, bendera bertuliskan Iafaz tauhid yang identik milik HTI kerap berkibar dalam berbagai acara. Para pengibar beralasan, bendera itu merupakan panji Rasulullah yang dikenal dengan Arrayah.

Ini yang menjadi sumber polemik di masyarakat terkait kasus pembakaran bendera di Garut. Tapi bagi Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid, masalah itu tidak perlu diperdebatkan. Karena selama ini HTI dalam setiap kegiatan organisasinya selalu membawa dan mengibarkan bendera tersebut.

"Karena hal itulah Banser mengira kalau bendera tersebut adalah bendera HTI," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (24/10/2018).



Dia menegaskan, yang menjadi masalah mengapa bendera yang identik dengan HTI itu berada di tengah-tengah kegiatan Hari Santri Nasional. Sedangkan sebelum acara digelar, sudah ada kesepakatan untuk tidak ada lambang atau bendera HTI di kegiatan itu.

"Kami memastikan ada niat jahat dari pihak-pihak tertentu yang ingin memprovokasi mengadu domba dan membenturkan Banser/NU dengan umat Islam dan komponen bangsa lainnya," ujar dia.



Langgar Kesepakatan


Perayan Hari Santri Nasional di Garut, Jawa Barat, berlangsung meriah. Sekitar empat ribuan santri memenuhi lapangan Alun-alun Limbangan. Namun di tengah semarak acara, sejumlah oknum Banser melakukan aksi pembakarann bendera yang identik dengan HTI, yang menuai kontroversi.

Sebelum acara berlangsung, seluruh perwakilan ormas di wilayah Kecamatan Limbangan menekan tanda tangan perjanjian untuk melaksanakan perayaan dengan damai. Hasilnya, perayaan Hari Santri Nasional berlangsung aman.

"FPI,Persis,NU,Muhammadiyah dan lainnya sepakat dan tanda tangan di atas materai Rp 6.000, agar jangan mengibarkan bendera selain Merah Putih," ujar seorang sumber yang enggan disebutkan namnya, Rabu 23 Oktober 2018.

Namun usai menyanyikan lagi Hibbul Wathon saat sesi hiburan, tiba-tiba ada peserta yang menaikan bendera Arroyah yang diduga kerap digunakan Hizbut Tahir Indonesia (HTI).

"Bendera itu sempat naik di tiang bendera sampai beberapa meter, sebelum akhirnya diturunkan oleh anggota ormas, ada Pak Camat kok yang tahu,"ujar sumber tadi menambahkan. 


Sempat bersetigang antara peserta yang membawa bendera dengan anggota ormas. Namun peserta pembawa bendera itu akhirnya diamankan petugas demi menjaga ketenteraman bersama.

"Nah mungkin tersulut emosi, akhirnya mereka membakar bendera itu. Tidak ada yang menginjak bendara, bahkan debunya pun kami kumpulan," ujar sumber itu.

Sumber tadi menegaskan, tidak ada yang bermaksud membakar bendera berlafaz tauhid itu. Pembakaran yang dilakukan anggota ormas adalah bentuk kesesalan pada HTI, organisasi yang telah dilarang di Indonesia.

"Nah kan bendera itu sengaja dbawa mereka, padahal kami semua ormas sudah sepakat untuk tidak mengibarkan bendera selain Merah Putih, jadi kami tidak membakar Iafaz tahuid tadi, tapi membakar benderanya," ujar sumber tadi.



Akhirnya sekitar pukal 12.00 WIB, seluruh peserta perayaan perayaan Hari Santri Nasional membubarkan diri. Mereka meninggalkan lapangan.

Namun, tak berselang lama, pembakaran bendera itu menyebar di media sosial. Video yang berdurasi 2,04 menit menjadi bahan perbincangan masyarakat.

Polri langsung bertindak cepat. Pihaknya memastikan akan memproses hukum mereka terlibat untuk mencegah gesekan antarkelompok.

"Kita tindak secara hukum agar dapat menenangkan atau menetralkan situasi kondusif secara umum," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, Selasa 23 Oktober 2018.


Setelah memeriksa dan mengamankan sejumlah saksi, Kepolisian resort Garut menangkap pelaku. Mereka mengakui perbuatan salah itu dan meminta maaf kepada seluruh umat Islam. Polri juga mengaku telah mengantongi identitas pembawa bendera itu. Saat ini, pelaku itu sedang dicari petugas.

"Totalnya 6, yang 3 tambahan dumas (pengaduan masyarakat0," ujar Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna, Selasa 23 Oktober 2018.

Menurut dia, identitas pelaku tidak diungkapkan demi keselamatan. Budi menegaskan, pengakuan dan permintaan maaf itu merupakan inisiatif pelaku, tanpa paksaan dari siapa pun.

"MUI sudah menyerahkan proses hukum apabila ada pelanggaran hukum," ujar Budi.

Untuk mengungkapk detail kasus ini, polisi segera menggelar perkara secara terbuka. Beberapa barang bukti yang akan ditampilkan adalah baju pelaku, korek api, bekas pembakaran.

"Kami akan gelar perkara terbuka. Karena sudah jadi abu, akibat panas karena angin, jadi akhirnya hilang, tapi kami kumpulkan sisanya," papar dia.

Saat ditanya perihal status hukum yang menjerat ketiga pelaku, Budi mengaskan lembaganya akan segera menetapkan status ketiganya dalam waktu dekat.