(REVIEW) Joker (2019)



Masuki Oktober, penikmat layarlebar langsung dimanja dengan salah satu film paling ditunggu bulan ini. Setelah berhasil memenangkan Golden Lion September lalu, anugerah tertinggi pada gelaran Venice Film Festrival, film besutan Todd Phillips ini langsung mencuri perhatian.

Setelah dikecewakan dengan penampilan dari Jared leto sebagai Joker di Suicide Squad (2016) lalu, penggemar film adaptasi komik menaruh harapan besar terhadap Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck. Menceritakan cerita orisinal dari musuh Batman paling ikonis, apakah film keluaran Warner Bros. Pictures ini berhasil menjawab ekspektasi tinggi penggemar? Yuk, simak ulasannya berikut ini!



Kisahkan Kondisi Suram yang Bangkitkan Kegilaan

Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) adalah pria yang hidup dalam kondisi kelam Kota Gotham. Di tengah situasi carut-marut, keseharian Fleck diisi dengan perjuangan keras. Kontras dengan pekerjaannya menjadi badut penghibur, sang protagonis adalah pribadi yang menyimpan luka dalam. Menderita gangguan mental yang membuat ia tertawa terbahak-bahak dalam kondisi tertekan, Fleck kerap menjadi korban bully dari seorang sekitar.

Enggak cuma mendapatkan pelecehan verbal, ia jgua kerap tersakiti secara fisik oleh produk dari bobroknaya pemerintahan Gotham. Namun, ketika kembali ke rumah, Fleck bisa kembali sedikit ceria saat bertemu dengan ibunya, yaitu Penny (Frances Conroy). Sudah lemah dan enggak berdaya, sosok tua ini menjadi cahaya penyejuk di tengah kerasnya kehidupan sang 'Joker'.


Ternyata, sang ibu memiliki koneksi dengan Thomas Wane (Brett Cullen), ayah dari Bruce alias Batman. Tiga puluha tahun lalu, Penny sudah bekerja di perusahaan Wayne. Demi bisa membantu kondisi terpuruk, ia mengirim surat kepada Thomas untuk bie mendapatkan sedikit bantuan dalam hidup.

Berbeda dengan sang ibu, Arthur menggantungkan harapan lewat mimpinya untuk menjadi komedian. Namun, mimpi besar Arthur pada akhirnya pupus dan berganti dengan lahirnya sosok gelap yang bengis dan enggak memiliki kemampuan untuk simpati.


Bukan Film Superhero Mainstream!

Mungkin ada dari kalian menyangka bahwa film besutan Todd Phillips ini bernuansa sama dengan film superhero yang belakangan rilis. Perlu diingat bahwa Joker sangat jauh dari film pahlawan super. Film keluaran Warner Bros. Pictures ini sangat 'mengganggu' dan fokus di sosok Arthur Fleck yang beranjak 'gila' karena berbagai tekanan di kehidupan Kota Gotham.


Jangan harap ada momen heroik hadir di Joker, tampak kental kejiwaan seorang manusia malang yang tergerus oleh kejamnya hidup. Enggak bisa dimungkiri, kalian akan merasakan depresi setelah dihantap oleh deretan sekuens yang berputar di sekitar Arthur Fleck.

Salah satu hal lain yang timbul adalah rasa kasihan terhadap Fleck. Ketika tengah berjuang untuk mencapai harapan, ada saja konflik yang hadir dan berujung derita. Salah satu elemen yang kental terasa adalah tawa ikonis Fleck saat sedang merasa stress. Bisa kalian bayangkan, ketika lagi di atas panggung klub komedi, belum mulai memberikan materi stand-up, penyakit Fleck kambuh dan menyebabkan ia tertawa tak tertahankan di depan orang banyak.

Bukan cuma itu, masih banyak momen lainnya yang memunculkan rasa iba. Mulai dari sini, persona Joker semakin kuat dan menguasai diri Fleck.


Perjalanan Menuju Ending yang Bikin Bimbang

Seperti yang udah kalian tahu, Joker adalah supervillain yang kejam dan brutal. Namun di film ini, kalian akan dipaksa memili, apa yang kalian rasakan terhadap karakter Arthur Fleck. Pada bagian awal menuju pertengahan, deraan yang datang sukses melahirkan rasa iba dan kasihan. Namun menuju bagian akhir, aksi Joker yang mirip psikopat sontak bikin bergidik dan ngeri.

Tapi jika mengingat rentatan yang dialami Joker dari awal, ada pemikiran logis yang bisa diterima. Bagaimana pada akhirnya cobaan dan derita tersebut menumpuk dan menyebabkan Fleck kehilangan kemampuan untuk simpati. It's all makes sense.

Kembali lagi, kalian lebih memilih untuk melihat sosok Joker sebagai koban atau villain?